Sholat Berjamaah
Bahkan ada sebagian
saudara muslim yang membiasakan dirinya sholat seorang diri alias tidak
berjama’ah. Padahal terdapat sekian banyak pesan dari Nabi Muhammad
shollallahu ’alaih wa sallam yang menganjurkan ummat Islam –terutama
kaum pria- sholat berjama’ah di masjid tempat di mana azan
dikumandangkan. Berikut ada beberapa pelajaran penting mengenai sholat
berjamaah:
Pertama,
seseorang yang disiplin mengerjakan sholat saat azan berkumandang akan
menyebabkan dirinya diakui sebagai seorang muslim saat bertemu Allah
subhaanahu wa ta’aala kelak di hari berbangkit. Sungguh suatu kenikmatan
yang luar biasa…! Pada hari yang sangat menggoncangkan bagi semua
manusia justru diri kita dinilai Allah subhaanahu wa ta’aala sebagai
seorang hamba-Nya yang menyerahkan diri kepada-Nya. Kita tidak
dimasukkan ke dalam golongan orang kafir, musyrik atau munafiq.
”Barangsiapa ingin
bertemu Allah esok hari sebagai seorang muslim, maka ia harus menjaga
benar-benar sholat pada waktunya ketika terdengar suara adzan.”
Kedua,
menjaga sholat termasuk kategori aktifitas SUNANUL-HUDA (perilaku atau
kebiasaan berdasarkan pertunjuk Ilahi). Barangsiapa memelihara
pelaksanaan kewajiban sholat lima waktu setiap harinya berarti ia
menjalani hidupnya berdasarkan petunjuk dan bimbingan Allah subhaanahu
wa ta’aala. Berati ia tidak membiarkan dirinya hidup tersesat sekedar
mengikuti hawa nafsu yang dikuasai musuh Allah subhaanahu wa ta’aala,
yakni syaitan.
”Maka sesungguhnya
Allah subhaanahu wa ta’aala telah mensyari’atkan (mengajarkan) kepada
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam beberapa SUNANUL-HUDA (perilaku
berdasarkan hidayah/petunjuk) dan menjaga sholat itu termasuk dari
SUNANUL-HUDA.”
Ketiga,
sholat di rumah identik dengan meninggalkan sunnah Nabi Muhammad
shollallahu ’alaih wa sallam. Padahal tindakan meninggalkan sunnah Nabi
Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan gambaran raibnya cinta
seseorang kepada Nabinya Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam.
Sebaliknya, bukti cinta seseorang akan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih
wa sallam adalah kesungguhannya untuk melaksanakan berbagai sunnah
beliau, Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam.
”Andaikan kamu sholat
di rumah sebagaimana kebiasaan orang yang tidak suka berjama’ah berarti
kamu meninggalkan sunnah Nabimu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam.”
Keempat,
meninggalkan sunnah Nabi akan menyebabkan seseorang menjadi TERSESAT.
Berarti tidak lagi hidup di bawah naungan bimbingan dan petunjuk Allah.
Sungguh mengerikan, bilamana seorang muslim merasa menjalankan kewajiban
sholat, namun karena ia kerjakannya tidak di masjid, maka hal itu
menyebabkan dirinya menjadi tersesat dari jalan yang lurus…!
Na’udzubillaahi min dzaalika.
”Dan bila kamu meninggalkan sunnah Nabimu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam pasti kamu tersesat.”
Kelima,
barangsiapa menyempurnakan wudhu lalu berjalan ke masjid, maka hal itu
akan mendatangkan kenaikan derajat dan penghapusan kesalahan.
”Maka tidak ada
seseorang yang bersuci dan dia sempurnakan wudhunya kemudian ia berjalan
ke masjid di antara masjid-masjid ini kecuali Allah subhaanahu wa
ta’aala mencatat bagi setiap langkah yang diangkatnya menjadi kebaikan
yang mengangkat derajatnya dan bagi setiap langkah yang diturunkannya
menjadi penghapus kesalahannya.”
Keenam,
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu menggambarkan bahwa pada zaman Nabi
Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam masih hidup di tengah para sahabat
radhiyallahu ’anhum jika ada yang tertinggal dari sholat berjamaah maka
ia dipandang identik dengan orang munafiq sejati
”Dan sungguh dahulu
pada masa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam tiada seorang
tertinggal dari sholat berjama’ah kecuali orang-orang munafiq yang
terang kemunafiqannya.”
Ketujuh,
di zaman Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sedemikian
bersemangatnya orang menghadiri sholat berjamaah di masjid sampai-sampai
ada yang dipapah dua orang di kiri-kanannya agar ia bisa sholat
berjamaah di masjid
”Sungguh adakalanya seseorang itu dihantar ke masjid didukung oleh dua orang kanan kirinya untuk ditegakkan di barisan saf.”
Hukum Shalat Berjamaah
Tentu masing-masing pendapat itu ada benarnya, sebab mereka telah berijtihad dengan memenuhi kaidah istimbath hukum yang benar. Kalau pun hasilnya berbeda-beda, tentu karena hal ini adalah ijtihad. Sebab tidak ada lafadz yang secara eksplisit di dalam Al Quran atau hadits yang menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya begini dan begini.
Yang ada hanya sekian banyak dalil yang masih mungkin menerima ragam kesimpulan yang berbeda. Dan sebenarnya hal seperti ini sangat lumrah di dunia fiqih, kita pun tidak perlu terlalu risau bila ada pendapat dari ulama yang ternyata tidak sejalan dengan apa yang kita pahami selama ini. Atau berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru kita selama ini.
Dan berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta dalil masing-masing, semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita dalam ilmu syariah.
1. Pendapat Kedua: Fardhu Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al Imam Asy Syafi`i dan Abu Hanifah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al Ifshah jilid 1 halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al Hanafiyah dan Al Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada di situ. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
Di dalam kitab Raudhatuth Thalibin karya Imam An Nawawi disebutkan bahwa:
Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat Jumat. Sedangkan untuk shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling shahih hukumnya adalah fardhu kifayah, tapi juga ada yang mengatakan hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu `ain.
Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas adalah:
Dari Abi Darda` Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari kawanannya.” (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
Dari Malik bin Al Huwairits bahwa Rasulullah SAW, “Kembalilah kalian kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah seorang kalian melantunkan azan dan yang paling tua menjadi imam.” (HR.Muslim 292 – 674).
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat.” (HR Muslim 650,249)
Al Khatthabi dalam kitab Ma`alimus Sunan jilid 1 halaman 160 berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi`i mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain dengan berdasarkan hadits ini.
2. Pendapat Pertama: Fardhu `Ain
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al Hanafiyah dan mazhab Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan tidak halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar azan, haruslah dia mendatanginya untuk shalat. (lihat Mukhtashar Al Fatawa Al Mashriyah halaman 50).
Dalilnya adalah hadits berikut:
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Siapa yang mendengar adzan tapi tidak menjawabnya (dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak menginginkannya.” (Al-Muqni` 1/193)
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap syah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR Bukhari 644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
3. Pendapat Ketiga: Sunnah Muakkadah
Pendapat ini didukung oleh mazhab Al Hanafiyah dan Al Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh Imam Asy Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar jilid 3 halaman 146. Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu `ain, fardhu kifayah atau syarat syahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.
Al-Karkhi dari ulama Al Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al Hanafiyah tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib. (silahkan periksan kitab Bada`ius-Shanai` karya Al Kisani jilid 1 halaman 76).
Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al Malikiyah dalam kitabnya Al Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat hukumnya sunnah muakkadah. Lihat Jawahirul Iklil jilid 1 halama 76.
Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan secara berjamaah itu hukumnya fardhu sunnah muakkadah. (lihat Qawanin Al Ahkam As-Syar`iyah halaman 83). Ad-Dardir dalam kitab Asy Syarhu Ash Shaghir jilid 1 halaman 244 berkata bahwa shalat fardhu dengan berjamaah dengan imam dan selain Jumat, hukumnya sunnah muakkadah.
Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil-dalil berikut ini:
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat.” (HR. Muslim 650,249)
Ash Shan`ani dalam kitabnya Subulus Salam jilid 2 halaman 40 menyebutkan setelah menyebutkan hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil bahwa shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.
Selain itu mereka juga menggunakan hadits berikut ini:
Dari Abi Musa Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya. Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur.” (lihat Fathul Bari jilid 2 halaman 278)
4. Pendapat Keempat: Syarat Sahnya Shalat
Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat fardhu berjamaah adalah syarat syahnya shalat. Sehingga bagi mereka, shalat fardhu itu tidak syah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taimiyah dalam salah satu pendapatnya (lihat Majmu` Fatawa jilid 23 halaman 333). Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhab Zhahiriyah (lihat Al Muhalla jilid 4 halaman 265). Termasuk di antaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At Tamimi, Abu Al Barakat dari kalangan Al Hanabilah serta Ibnu Khuzaimah.
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersaba, “Siapa yang mendengar azan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada uzur.” (HR Ibnu Majah793, Ad-Daruquthuny 1/420, Ibnu Hibban 2064 dan Al Hakim 1/245)
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR Bukhari 644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan berkata, “Ya Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata untuk memberikan keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memanggilnya dan bertanya, “Apakah kamu dengar azan shalat?” “Ya,” jawabnya. “Datangilah,” kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . (HR Muslim 1/452).
Manfaat dan Hikmah Sholat Berjamaah
Manfaat dan Hikmah shalat berjamaah
Banyak umat Islam yang menganggap remeh urusan shalat berjamaah.
Kenyataan ini dapat kita lihat di sekitar kita. Masih bagus mau shalat,
pikir kebanyakan orang, sehingga tidak berjamaah pun dianggap sudah
menjadi muslim yang baik, layak mendapat surga dan ridha Allah. Padahal,
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dalam shahihain, sampai pernah
hendak membakar rumah para sahabat yang enggan berjamaah. Kisah ini
seharusnya dapat membuka mata kita betapa pentingnya berjamaah dalam
melaksanakan rukun Islam kedua ini.
Jika mengamati hadits-hadits yang berkaitan dengan shalat berjamaah,
barangkali kita dapat menyimpulkan sendiri bahwa hukum shalat berjamaah
“nyaris” wajib. Bagaimana tidak, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menerangkan bahwa hanya ada tiga hal yang dapat menjadi alasan bagi
kita untuk meninggalkan shalat berjamaah; hujan deras, sakit, dan
ketiduran. Di luar itu, beliau akan sangat murka melihat umat Islam
menyepelekan shalat berjamaah.
Perhatian besar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ini cukup
beralasan. Karena di dalam shalat berjamaah terdapat banyak hikmah dan
manfaat bagi umat Islam, baik untuk maslahat dien, dunia, dan akhirat
mereka. Berikut ini beberapa hikmah dan manfaat yang bisa diunduh umat
Islam dari shalat berjamaah
1. Allah telah mensyariatkan pertemuan bagi umat ini pada waktu-waktu tertentu.
Ada yang dilaksanakan secara berulang kali dalam sehari semalam, yaitu shalat lima waktu dengan berjamaah di masjid. Ada juga pertemuan yang dilaksanakan sekali dalam sepekan, yaitu shalat Jum'at. Ada juga yang dilangsungkan setelah pelaksanaan ibadah yang agung, dan terulang dua kali setiap tahunnya. Yaitu Iedul Fitri sesudah pelaksanaan ibadah puasa Ramadlan dan Iedul Adha sesudah pelaksanaan ibadah Haji. Dan ada juga yang dilaksakan setahun sekali yang dihadiri umat Islam dari seluruh penjuru negeri, yaitu wukuf di Arafah. Semua ini untuk menjalin hubungan persaudaraan dan kasih sayang sesama umat Islam, juga dalam rangka membersihkan hati sekaligus dakwah ke jalan Allah, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
Ada yang dilaksanakan secara berulang kali dalam sehari semalam, yaitu shalat lima waktu dengan berjamaah di masjid. Ada juga pertemuan yang dilaksanakan sekali dalam sepekan, yaitu shalat Jum'at. Ada juga yang dilangsungkan setelah pelaksanaan ibadah yang agung, dan terulang dua kali setiap tahunnya. Yaitu Iedul Fitri sesudah pelaksanaan ibadah puasa Ramadlan dan Iedul Adha sesudah pelaksanaan ibadah Haji. Dan ada juga yang dilaksakan setahun sekali yang dihadiri umat Islam dari seluruh penjuru negeri, yaitu wukuf di Arafah. Semua ini untuk menjalin hubungan persaudaraan dan kasih sayang sesama umat Islam, juga dalam rangka membersihkan hati sekaligus dakwah ke jalan Allah, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
2. Sebagai bentuk ibadah kepada Allah melalui pertemuan ini dalam rangka memperoleh pahala dari-Nya dan takut akan adzab-Nya.
3. Menanamkan rasa saling mencintai.
Melalui pelaksanaan shalat berjamaah, akan saling mengetahui keadaan sesamanya. Jika ada yang sakit dijenguk, ada yang meninggal di antarkan jenazahnya, dan jika ada yang kesusahan cepat dibantu. Karena seringnya bertemu, maka akan tumbuh dalam diri umat Islam rasa cinta dan kasih sayang.
Melalui pelaksanaan shalat berjamaah, akan saling mengetahui keadaan sesamanya. Jika ada yang sakit dijenguk, ada yang meninggal di antarkan jenazahnya, dan jika ada yang kesusahan cepat dibantu. Karena seringnya bertemu, maka akan tumbuh dalam diri umat Islam rasa cinta dan kasih sayang.
4. Ta'aruf (saling mengenal).
Jika orang-orang mengerjakan shalat secara berjamaah akan terwujud ta'aruf. Darinya akan diketahui beberapa kerabat sehingga akan tersambung kembali tali silaturahim yang hampr putus dan terkuatkan kembali yang sebelumnya telah renggang. Dari situ juga akan diketahui orang musafir dan ibnu sabil sehingga orang lain akan bisa memberikan haknya.
Jika orang-orang mengerjakan shalat secara berjamaah akan terwujud ta'aruf. Darinya akan diketahui beberapa kerabat sehingga akan tersambung kembali tali silaturahim yang hampr putus dan terkuatkan kembali yang sebelumnya telah renggang. Dari situ juga akan diketahui orang musafir dan ibnu sabil sehingga orang lain akan bisa memberikan haknya.
5. Memperlihatkan salah satu syi'ar Islam terbesar.
Jika seluruh umat Islam shalat di rumah mereka masing-masing, maka tidak mungkin diketahui adanya ibadah shalat di sana.
Jika seluruh umat Islam shalat di rumah mereka masing-masing, maka tidak mungkin diketahui adanya ibadah shalat di sana.
6. Memperlihatkan kemuliaan kaum muslimin.
Yaitu jika mereka masuk ke masjid-masjid dan keluar secara bersamaan, maka orang kafir dan munafik akan menjadi ciut nyalinya.
Yaitu jika mereka masuk ke masjid-masjid dan keluar secara bersamaan, maka orang kafir dan munafik akan menjadi ciut nyalinya.
7. Memberi tahu orang yang bodoh terhadap syariat agamanya.
Melalui shalat berjamaah, seorang muslim akan mengetahui beberapa persoalan dan hukum shalat yang sebelumnya tidak diketahuinya. Dia bisa mendengarkan bacaan yang bisa dia petik manfaat sekaligus dijadikan pelajaran. Dia juga bisa mendengarkan beberapa bacaan dzikir shalat sehinga lebih mudah menghafalnya. Dari sini, orang yang belum mengetahui tentang syariat shalat, khususnya, bisa mengetahuinya.
Melalui shalat berjamaah, seorang muslim akan mengetahui beberapa persoalan dan hukum shalat yang sebelumnya tidak diketahuinya. Dia bisa mendengarkan bacaan yang bisa dia petik manfaat sekaligus dijadikan pelajaran. Dia juga bisa mendengarkan beberapa bacaan dzikir shalat sehinga lebih mudah menghafalnya. Dari sini, orang yang belum mengetahui tentang syariat shalat, khususnya, bisa mengetahuinya.
8. Memberikan motifasi bagi orang yang belum bisa rutin menjalankan
shalat berjamaah, sekaligus mengarahkan dan membimbingnya seraya saling
mengingatkan untuk membela kebenaran dan senantiasa bersabar dalam
menjalankannya.
9. Membiasakan umat Islam untuk senantiasa bersatu dan tidak berpecah
belah. Dalam berjamaah terdapat kekuasaan kecil, karena terdapat imam
yang diikuti dan ditaati secara tepat. Hal ini akan membentuk pandangan
berIslam secara benar dan tepat tentang pentingnya kepemimpinan (imamah
atau khilafah) dalam Islam.
10. Membiasakan seseorang untuk bisa menahan diri dari menuruti kemauan
egonya. Ketika dia mengikuti imam secara tepat, tidak bertakbir sebelum
imam bertakbir, tidak mendahului gerakan imam dan tidak pula terlambat
jauh darinya serta tidak melakukan gerakan bebarengan dengannya, maka
dia akan terbiasa mengendalikan dirinya.
11. Membangkitkan perasaan orang muslim dalam barisan jihad, sebagaimana yang Allah firmankan,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (QS. Ash Shaff: 4)
Orang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan berjamaah dan
membiasakan untuk berbaris rapi, lurus dan rapat, akan menumbuhkan dalam
dirinya kesetiaan terhadap komandan dalam barisan jihad sehingga dia
tidak mendahului dan tidak menunda perintah-peritnahnya.
12. Menumbuhkan perasaan sama dan sederajat dan menghilang status sosial yang terkadang menjadi sekat pembatas di antara mereka.
Di sana, tidak ada pengistimewaan tempat bagi orang kaya, pemimpin, dan penguasa. Orang yang miskin bisa berdampingan dengan yang kaya, rakyat jelata bisa berbaur dengan penguasa, dan orang kecil bisa duduk berdampingan dengan orang besar. Karena itulah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk menyamakan shaff (barisan) shalat. Beliau bersabda, "janganlah kalian berselisih yang akan menyebabkan perselisihan hati-hati kalian." (HR. Muslim)
Di sana, tidak ada pengistimewaan tempat bagi orang kaya, pemimpin, dan penguasa. Orang yang miskin bisa berdampingan dengan yang kaya, rakyat jelata bisa berbaur dengan penguasa, dan orang kecil bisa duduk berdampingan dengan orang besar. Karena itulah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk menyamakan shaff (barisan) shalat. Beliau bersabda, "janganlah kalian berselisih yang akan menyebabkan perselisihan hati-hati kalian." (HR. Muslim)
13. Dapat terlihat orang fakir miskin yang serba kekurangan, orang sakit, dan orang-orang yang suka meremehkan shalat.
Jika terlihat orang memakai pakaian lusuh dan tampak tanda kelaparan dan kesusahan, maka jamaah yang lain akan mengasihi dan membantunya. Jika ada yang tidak terlihat di masjid, akan segera diketahui keadaannya, apakah sakit atau meremehkan kewajiban shalat berjamaah. Orang yang sakit akan dijenguk dan diringankan rasa sakit dan kesusahannya, sedangkan orang yang meremehkan shalat akan cepat mendapat nasihat sehingga akan tercipta suasana saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
Jika terlihat orang memakai pakaian lusuh dan tampak tanda kelaparan dan kesusahan, maka jamaah yang lain akan mengasihi dan membantunya. Jika ada yang tidak terlihat di masjid, akan segera diketahui keadaannya, apakah sakit atau meremehkan kewajiban shalat berjamaah. Orang yang sakit akan dijenguk dan diringankan rasa sakit dan kesusahannya, sedangkan orang yang meremehkan shalat akan cepat mendapat nasihat sehingga akan tercipta suasana saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
14. Akan menggugah keinginan untuk mengikuti sunnah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dan para shabatnya. Melalui shalat
berjamaah, umat Islam bisa membayangkan apa yang pernah dijalani oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersama para shabatnya. Sang
imam seolah menempati tempat Rasulullah yang para jamaah seolah
menempati posisi sahabat.
15. Berjamaah menjadi sarana turunnya rahmat dan keberkahan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
16. Akan menumbuhkan semangat dalam diri seseorang untuk meningkatkan
amal shalihnya dikarenakan ia melihat semangat ibadah dan amal shalih
saudaranya yang hadir berjamaah bersamanya.
17. Akan mendapatkan pahala dan kebaikan yang berlipat ganda,
sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "shalat
berjamaah itu lebih utama 27 derajat daripada shalat sendirian." (HR.
Muslim)
18. Menjadi sarana untuk berdakwah, baik dengan lisan maupun perbuatan.
Berkumpulnya kaum muslimin pada waktu-waktu tertentu akan mendidik
mereka untuk senantiasa mengatur dan menjaga waktu.
Udzur (Halangan) Shalat Berjama’ah
Shalat jama’ah harus dilakukan dalam keadaan apapun kecuali jika terdapat beberpa udzur, diantaranya:
Artinya: ”dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Qs Al-Hajj ayat: 78)
Shalat jama’ah harus dilakukan dalam keadaan apapun kecuali jika terdapat beberpa udzur, diantaranya:
- Dalam keadaan hujan, becek dan angin kencang di malam gelap
عَنِ ابْنَ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قال إِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ
الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ
أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ (رواه الشيخان)
Sesuai dengan Hadist Rasulallah saw dari Ibnu Umar ra, ia berkata:
Rasulullah saw. pernah memerintahkan seorang muazin dalam malam yang
dingin dan hujan agar shalat di rumah. (HR Muttafaun ‘alaih)- Dalam keadaan sangat lapar dan haus dan dihadapannya hidangan makanan dan minuman
- Menahan buang air besar dan kecil sedang waktu masih panjang untuk shalat.
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت : سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : لَا صَلَاةَ
بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ (رواه مسلم)
Dari Aisyah ra, ia berkata: aku mendengar Rasulallah saw bersabda
“tidak dilaksanakan shalat apabila makanan telah dihidangkan dan apabila
menahan kedua hadats (kecil dan besar)” (HR Muslim)- Sakit yang membuatnya sulit untuk shalat berjama’ah
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ – الحجر ﴿٧٨﴾
Artinya: ”dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Qs Al-Hajj ayat: 78)
- Merawat orang sakit, karena melindungi jiwa seorang manusia yang lebih baik daripada menjaga berjama’ah.
- Menjaga orang yang sedang sakarat agar bisa diketahui kematiannya
- Perjalanan ke masjid tidak aman karena takut terancam jiwa dan harta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar