BAB
1
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
II.
Rumusan
Masalah
III.
Tujuan
Penulisan
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
Mad’u
sebagai Sentral Dakwah
Salah
satu sasaran utama yang hendak dicapai melalui dakwah adalah pemberdayaan
masyarakat menuju lahirnya suatu komunitas atau masyarakat yang disebut oleh Al-Qur’an dengan predikat khaira ummah, the best ummah (QS. Ali Imran/3:110),
bukan hanya dari aspek keimanan dan ibadah semata, melainkan juga dari
aspek-aspek sosial, seperti ekonomi, pendidikan, , hukum, iptek dan sosial
budaya. Kalau demikian, maka kepentingan dakwah itu berpusat kepada apa yang
dibutuhkan oleh komunitas atau masyarakat (mad’u), dan bukan kepada apayang
dikehendaki oleh pelaku dakwah (da’i). Tegasnya, dakwah mesti berorientasa
kepada kepentingan mad’u (mad’u centre
preaching), dan tidak kepada kepentingan da’i (da’i centre preaching).
Dengan
paradima baru ini, dai perlu mengertitentang aspek-aspek yang menjadi kebutuhan
(kepentingan) mad’u dalam suatu komunitas, termasuk dengan tingkat intelektual
mereka, kondisi psikologis, serta problematika yang melingkupi kehidupan
masyarakat ditempat dan zaman mereka. berada. Aspek inilah yang membedakan
dakwah dari semata-mata tabligh. Dakwah selain bermakna tabligh, yaitu kegiatan
penyampaian dan penerangan agama, ia juga bermakna perubahan dan transformasi
sosial. Dan kultural melalui rekayasa sosial (social enginering) yang intens. Sementara perubahan dan
transformasi sosial ini tidak dapat berlangsung, tanpa memerhatikan kondisi
objektif sasaran dakwah (mad’u) dalam semua aspeknya.
Dalam
al-Qur’an, keharusan menjadikan mad’u sebagai sentral dakwah diisyaratkan
sebagai suatu srtategi menjelaskan pesan-pesan agama. Al-Qur’an menggunakan
redaksi al lisan, sebagai suatu simbol yang mengacu kepada aspek kemanusiaan
(humanitas) mad’u. Allah SWT berfirman :
“Dan
kami tidak mengutus seorang Rasul pun kecuali dengan lisan kaumnya agar ia
menjelaskan (agama) kepada mereka..........” (QS. Ibrahim/14:4)
Kebanyakn mufasir, baik klasik
maupun kontemporer, memang mengartikan kata al-lisan sebagai bahasa
(al-lughah). Namun demikian, pemahaman ini dapat didefinisikan lebih luas lagi.
pakar tafsir, Abdullah Yusuf Ali misalnya, menegaskan bahwa terjemahan kata
al-lisan (language) ini memiliki implikasi yang luas. Katanya, pengertian lisan
itu tidak melulu harus diartikan sebatas kata-kata, huruf atau abjad sebagai
materi inti bahasa. Lebih dar itu, lisan
disini menyangkut problematika kehidupan pada suatu masa (each age people or word), keenderungan psikologi mereka (phsycological sense), da tingkat
pemikirannya (the thought). Menurut
Yusuf Ali, informasi al-Qur’an ini boleh dibilang pandangan yang sangat maju
dan amat manusiawi. Dakwah al-Qur’an, lanjut Ali, dalam hal ini kelihatan
sekali menitik beratkan kepada kapasitas (capacity) dan penerimaan
(receptivity) mad’unya.
Penafsiran kenamaan Indonesia, M.
Quraish Shihab, juga merasa perlu memberikan penjabaran lebih luas soal makna
kata al-lisan. Katanya, al-lisan memang diartikan bahasa, namun pemaknaan ini
merupakan simbol dari arti yang lebih luas, yaitu pandangan hidup (pemikiran),
psikologi, danproblematika sosial. Demikian itu, karena bahasa selain berfungsi
sebagai alat komunikasi, juga merupakan cerminan pemikiran dan pandangan
pengguna bahasa itu. dengan mengutip filsuf kontemporer Zaki Nagib Mahfuz,
Shihab mengemukakan bahwa bahasa menggambarkan keyakinan metafisika serta
unsur-unsur kejadian alam yang dianut oleh bangsa-bangsa penggunanya.
Untuk
memosisikan mad’u sebagai sental dakwah, maka tiga hal berikut perlu diperhatikan,
Pertama,
dakwah perlu memerhatikan kapasitas pemikiran (tingkat intelektual) suatu
masyarakat. Dakwah bertujuan menyampaikan pesan agama seluas-luasnya kepada
umat manusia. Sementara dilain pihak, tingkat pemahaman suatu kelompok
masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lainnya pasti berbeda. Perbedaan
tingkat pemahaman itu ditentukan oleh banyak variabel, di antaranya tingkat kemajuan
budaya dan peradaban masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang masih
sederhana dan bersahaja, memiliki kecenderungan memahami sesuatu secara mudah
(simplifikasi) dan apa adanya. Hal ini taentunya berbeda dengan masyarakat
dengan tingkat budaya dan peradaban yang lebih maju. Dengan tingkat intelektual
yang lebih tinggi, masyarakat yang berkebudayaan cenderung memahami agama
secara lebih kompleks.
Di sisi lain, agama memiliki watak
universal; ia diturunkan sebagai petunjuk bagi semua kelompok masyarakat, baik
yang sederhana maupun yang sudah berperadaban. Karena itu, dakwah harus
berwatak fleksibel, maksudnya dakwah harus mampu mengakomodasi tingkat
pengetahuan atau intelektuak umat manusia dimana saja. Bagi masyarakat yang
masih sederhana, fokus utama dakwah terutama bagaimana mengembangkan potendsi
keadaban dan humanitas mereka. contoh yang konkret dalam hal ini adalah dakwa
Rasululloh terhadap masyarakaat Arab. Adapun bagi masyarakat yang sudah maju,
fokus utama dakwah adalah mengarahkan kemajuan dan keadaban itu agar selaras
dan tetap berpijak pada nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Arahan dan
pencerahan agama dapat dilakukan dengan menjadikan nilai-nilai agama sebagai
etika universal yang harus dipedomani oleh para pemimpin dalam melakukan
pembangunan dalam segala segi kehidupan.
Kedua,
dakwah harus memerhatikan kondisi kejiwaan (suasana psikologis) suatu masyarakat.
Kondisi kejiwaan suatu masyarakat memiliki kolerasi erat dengan setiap kejadian
atau peristiwa yang dialami, baik yang terkait dengan kondisi alam maupu
sosial. Dampak dari suatu peristiwa tersebut akan terakumulatif dalam tempo
yang relatif lama dan membentuk suasana psikologis tersendiri yang mencirikan
kekhasan suatu kelompok masyarakat. Sementara itu, peristiwa dan kejadian yang
dialami oleh suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya adalah berlainan.
Karena itu, dipandang dari sudut suasana kejiwaannya, maka setiap kelompok
masyarakat boleh dibilang masing-masing adalah unik, sehingga dakwah yang
manusiawi dan sekaligus komunikatif, adalah dakwah yang dapat memahami keunikan
psikologis setiap umat, dan mencarikan jalan keluar yang tepat dan sesuai dengan
suasana kebatinan mereka dalam dimensi ruang dan waktu.
Dalam
kondisi demikian, mana pemilahan dan penyeusaian materi dakwah menjadi hal
urgen yang perlu dipikirkan dan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Secara
teknis, penyesuaian materi dakwah terkait dengan kondisi psikologi suatu umat
tidak melulu dilihat dari sisi benar
atau tidak benar, tetapi perlu juga
dilihat dari sisi tepat atau tidak tepat. Suatu materi dakwah boleh dibilang
benar dan tepat untuk kondisi masyarakat tertentu, tetapi belum tentu tepat
untuk disampaikan pada masyarakat yang lain. Oleh sebab itu, selain materi,
pilihan metode yang tepat, juga berperan dalam menentukan keberhasilan dakwah.
Malahan boleh jadi, materi yang benar, namun disampiakan pada situasi dan
kondisi yang tidak tepat, justru malah menimbulkan fitnah. Maka disini penting
diingat, adagium Arab yang menyatakan “Al tariqah ahammu min al maddah/ metode
itu lebih penting dari materi itu sendiri.”
Ketiga,
dakwah perlu memerhatikan problematika kesenian yang dihadapi oleh suatu
masyarakat. Risalah Islam diturunkan dengan kepentingan merespons
masalh-masalah umat manusia dan membantu mencarikan jalan keluar dengan
mengarahkan manusia melalui bimbingan agar lebih berpihak kepada muatan
nila-nila moral dan ketuhanan. Karena itu, dalampelaksanaannya, dakwah haruslah
berwatak komunikatif dan interaktif. Komunikatif, berarti bahwa dakwah harus
memahami dan merespons setiap problematika umat. Doktrin universalisme Islam
menghendaki bahwa islam harus turut berbicara tentang banyak hal yang
menyangkut aspek kehidupan manusia.karena itu, dakwah tidak boleh bungkam
ketika dihadapkan kepada persoalan-persoalan kemanusiaan mutakhir yang semakin
kompleks. Dakwah dituntut dapat memberikan pandangannya tentang
persoalan-persoalan ini melalui paradigma moralitas dan nila-nila ilahiah yang
dimilikinya. Interaktif, berarti dakwah harus mampu berdialog dengan berbagai
pihak dan kelompok kepentingan dalam rangka mencari solusi kreatif dan inovatif
dalam memecahkan berbagai problem sosial yang dihadapi oleh umat, termasuk
didalamnya ikut menciptakan mindset baru dan seperangkat alat (tools) untuk
membawa umat menuju perubahan dan kemajuan yang diharapkan.
Sejalan dengan logika diatas, dakwah
mesti berwatak kekinian dan kedisinian (al-waqi’iyyah).
Problematika yang dihadapi umat yang satu dan lainnya, atau problematika umat
terdahulu dan sekarang sudah pasti berbeda, sehingga menuntut solusi yang
berbeda pula. Karena itu, dakwah yang manusiawi harus menjauhi unsur pemaksaan.
Alternatif solusi untuk suatu umat
terdahulu, tidak boleh dipaksakan terhadap umat yang belakangan, sebagaimana
solusi umat pada iklim sosial tertentu tidak diperkenankan terhadap iklim yang
berbeda. Dakwah dengan demikian, dituntut untuk selalu inovatif dan kreatif
menjawab tantangan zaman dan perubahan sosial. Termasuk kedalam pengertian
mad’u sebagai sentral dakwah, adalah usaha dakwah yang dinamis dan progresif.
Bentuk konkret dari usaha dinamis dan proggresif adalah ijtihad, selalu berusaha mencari solusi dan
jalan keluar dari problem-problem mutakhir yang dihadapi umat dengan logika
baru (al-‘aql al-jadid).
Gagasan dakwah yang menempatkan
mad’u sebagai sentral, menghendaki strategi
dakwah yang empatik, simpati, dan humanistik sekaligus. Empati dan
simpati dalam dakwah menghendaki sikap yang mengandaikan dai dalam posisi
mad’u. Adapun dakwah humanis menghendaki pengakuan terhadap sisi kemanusiaan
mad’u secara utuh, baik pemikirannya, kejiwaannya, maupun problematikanya.
Pengabaian terhadap aspek-aspek tersebut, hampir dapat dipastikan, menjadikan
dakwah kurang efektif, untuk tidak mengatakansuatu kemubaziran, lantaran tidak
dibutuhkan mad’u karena tidak membawa manfaat apapun. Dakwah semacam ini,
bukannya membawa kemajuan, malahan pada tingkatan tertentu bisa membawa kerugian.
Nabi memperingatkan hal tersebut dalam haditsnya : “ ma anta bi muhaditsin
qauman haditsan la tablughuhu ‘uquluhum illa kana liba’dihim fitnah/ tidaklah
kamu berbicara tentang suatu ucapan kepada suatu kaum yang tidak sesua dengan
pemahaman mereka, kecuali akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.....
II.
Hak-hak
Mad’u
Sejalan dan konsisten dengan
pernyataan semula, bahwa dengan karakteristiknya yang egalitarian, dalam
praktiknya dakwah islam itu condong kepada prinsip humanisme. Jika logika ini
ditarik lebih jauh kemudian dikaitkan dengan hak-hak mad’u, maka sesungguhnya
ia bukanlah hal yang lain dari hak-hak manusia.[1]
Persoalan ini dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu hak hubungan sosial antar
pribadi (interpersonal relationship right) dan hak hubungan antar-keterkaitan
komunikasi (communication interconecting right). Hak manusia dalam tinjauan
aspek yang pertama, menekankan kecakapan kualitas pribadi seseorang dalam
membangun pola hubungan antarpersonal yang nyaman (confortable) dan penuh
keakraban (friendliness/arab: al-firq). Adapun hak dalam tinjauan aspek yang
kedu, menekankan pola hubungan ketergantungan (dependention) dan saling respons
serta saling pengertian (reponsible and understanding).
Dalam teori ilmu sosial dijelaskan,
kelanggengan suatu hubungan natural dalam masyarakat itu terkait dalam suatu
kontrak tak tertulis. Dalam pada itu, ketika suatu hubungan sosial telah
terjalin, saat itu pula kontrak ini disepakati atas dasar ketulusan komitmen
masing-masing pihak sebagai suatu konsekuensi logis darinya. Melalui komitmen
ini, kemudian lahir hak dan kewajiban masing-masing pihak yang secara dinamis
dan proporsional harus didistribusikan sebagai prasyarat tercinptanya suatu
kondisi hubungan sosial yang nyaman dan mendukung. Ketimpangan yang disebabkan
oleh macetnya distribusi hak dan kewajiban kepada masing-masing secara
proposional akan menimbulkan gesekan-gesekan dalam hubungan yang kemudian akan
berlanjut pada ketidaknyamanan transaksi sosial. Kondisi demikian itu memang
tidak langsung terlihat dampaknya, namun efek bola saljunya, secara akumulatif
dapat melahirkan kesalah pahaman dan keretakan hubungan bahkan percekcokkan
yang berkepanjangan. Kondisi demikian ini, tentunya tidak sejalan dengan logika
komunikasa dan akselerasi dakwah.
Hubungan sehat antarpersonal, juga
ditentukan oleh sejauh mana masing-masing pihak mampu menciptakan situasi
pergaulan yang akrab dan hangat. Untuk tujuan itu, segala atribut penghalang
yang menjadi jarak pemisah antara kedua belah pihak harus terlebih dahulu disingkirkan
untuk kemudian dijalin sebuah komunikasi terbuka dalam suatu hubungan
kesetaraan tanpa unsur hierarkis. Hal demikian ini terbilang amat perlu karena
pertimbangan beberapa hal.
Pertama,
secara psikologis orang hanya mau membuka diri (ofensif) kepada pihak yang
benar-benar ia kenal dan tahu latar belakangkya.
Kedua,
ketiadaan jarak antar hubungan memungkinkan tumbuhnya selera untuk menjalin
keakraban atau kedekatan dalam pergaulan.
Ketiga,
dari sikap empatis dan simpatik. Di sisi lain, sikap serupa itu hanya mungkin
ditumbuhkan dalam pandangan kesetaraan hubungan yang mampu menempatkan diri
pribadi pada posisi orang lain secara timbal balik.
Dalam
prinsip komunikasi juga dikenal kaidah hubungan ketergantungan yang menegaskan
bahwa pda dasarnya manusia memiliki hak untuk didengar, tetapi disisi lain ia
juga memiliki kewajiban untuk mendengarkan orang lain. Keberlangsungan
komunikasi dalam kaitan ini ditentukan oleh sejauh mana kedua belah pihak mampu
menenggang dan memberi peluang orang lain untuk pula mendapatkan haknya.
Demikian itu, karena pada dasarnya komunikasi berlangsung dalam suatu pola
ketergantungan antar partisipasi dan pengertian. Tanpa adanya kesadaran serupa
itu, dapat dipastikan hubungan komunikasi akan berakhir, dan itu merupakan sebuah
kegagalan dalam proses komunikasi.
Terkait
dengan persoalan hak-hak mad’u, maka apa
yang dijelaskan melalui teori sosial tentang keharusan hubungan yang
kondusif sebagai syarat keberlangsungan
sebuah kontrak sosial, sangat relevan dengan praktik dakwah Nabi dengan
membentuk piagam tertulis Madinah yang menjadi asas dalam pembentukkan
masyarakat sipil melalui sebuah kontrak sosial yang mengikat semua golongan.
Didalamnya ditegaskan, secara adil hak-hak mad’u yang terdiri dari kelompok
nonmuslim ahlulkitab dan kaum pagan Madinah. Melalui kontrak sosial itu, mereka
memperoleh pengakuan hak-hak asasi mereka selaku manusia sepert kebebasan untuk
berkeyakinan dan berpegan pada keyakinannya itu, bahwa hak-hak mereka diakui
untuk menuntut kerugian akibat perlakuan yang tidak baik pada mereka dan juga
hak-hak sosial lainnya seperti yang dimiliki oleh pihak muslim. Sebagai
gantinya, mereka juga diharuskan untuk mematuhi beberapa ketentuan yang juga
merupakan kewajiban bagi kaum muslim.
Penjelasan
ini akhirnya memberi pemahaman bahwa hak pertama yang mesti diingat terkait
dengan dakwah adalah hak-hak asasi manusia pada umumnya. Pengakuan terhadaphak
asasi ini adalah akses menuju hubungan sosial yang kondusif serta membuka
peluang terciptanya kebebasan dam menyampaikan dakwah itu sendiri. Dalam
perspektif dakwah, pengakuan hak asasi ini berarti memberi kebebasan kepada
mad’u untuk menerima atau menolak dakwah sesuai prinsip kebebasan agama yang
diajarkan oleh islam. Tanpa adanya pengakuan serupa itu, hubungan yang harmonis
dan kondusif tak akan pernah terwujud, dan dalam keadaan demikian, dakwah boleh
jadi akan dinilai sebagai ancaman dan propaganda, bukan pencerahan dan
bimbingan yang akan mengantar manusia menuju puncak-puncak kemuliaam dan
keagungannya.
Sebagai
pihak yang lebih aktif, da’i harus mengerti bahwa mad’u memiliki hak untuk
didatangi, didekati dan kemudian diakrabi dengan cara-cara yang persuasif.[2]
Dan mad’u juga memiliki hak untuk dipahami sacara empati dan simpati menjadi
suatu kemestian yang mutlak. Tujuan yang ingin dicapai dari penunaian hak ini
adalah menjaga “suasana kejiwaan” mad’u
agar tetap betah berada dalam ruang proses komunikasi dakwah untuk tempo
yang cukup panjang. Sebab bagaimanapun, efek dakwah tidak mungkin muncul hanya
dalam sekali atau beberapa kali komunikasi. Disamping itu, efek yang
diharapkan, dengan sendirinya, membutuhkan akumulasi pesan-pesan atau nilai
dakwah agar mampu membentuk dan melahirkan pengaruh yang lebih kukuh dan
permanen. Untuk itu, da’i dituntut untuk mampu menjaga gengsi dan harga diri
mad’u, serta dilarang keras berkata-kata yang dapat melukai hati atau
merendahkan diri mereka yang dapat menghilangkan selera atau bahkan
keberlangsungan (contunuity) untuk berkomunikasi.[3]
III.
Klasifikasi
Mad’u
Sebut saja, dakwah adalah adalah
proses menyosialisasikan dan mewujudkan kebenaran, maka klasifikasi mad’u
merupakan sebuah proses pengidentifikaasian perkelompok manusia dalam menerima
kebenaran itu. bukan bermaksud memetak-metak kelompok. Lebih dari itu, hal ini
bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang karakter-karakter yang khas
dimiliki oleh suatu kelompok mad’u tertentu yang tidak terdapat pada lainnya.
Juga berguna untuk menentukan kebijakan dakwah tentang bagaimana cara mensikapi
dan berinteraksi dengan masing-masing kelompok manusia tertentu.
Kalsifikasi mad’u digolongkan
menurut empat kategori. Yaitu :
1.
Klasifikasi
Mad’u Menurut Sikapnya Terhadap Dakwah
Pakar dakwah Abdul Karim Zaidan
dalam buku ushul al-Dakwah, mengelompokkan manusia dalam empat kategori berdasarkan sikapnya terhadap
dakwah, yaitu:
a.
Al
Mala’
Dalam al- Qur’an, terminologi
al-mala’ digunakan untuk arti kelompok sosial yang berstatus sebagai pemuka
masyarakat (asyraf al qaum), pemimpim masyarakat (ru’usahum), atau yang
memiliki wewenang atas masyarakat (sadatuhum). Pakar al-Qur’an al-Ashfahany
menerjemahkan istilah al mala’ sebagai suatu kelompok orang yang memiliki
pengaruh atas pandangan umum baik lantaran kewibawaannya maupun kebesaran
namanya. Al-Qur’an cenderung menggunakan kata al mala’ dalam pengertian
pemimpin kaum atau yang serupa dengannya seperti dijelaskan tadi.
Berbeda
dengan penjelasan tentang sisi posotif dari pengertian al mala’ sepert
dijelaskan tadi, dalam banyak koteks dakwah Nabi-nabi, kata ini dikaitkan
dengan kelompok orang yang menentang seruan dakwah. Dalam kasus Nabi Nuh
misalnya, para pemuka kaum ketika itu menyetarakan antara seruan dakwahnya dan
sebuah ajaran yang menyesatkan (al-dalal al-mubin).[4]
Disamping penolakan dan
penentangannya terhadap dakawah, al-Qur’an secara objektif juga menggambarkan
perihal kesetiaan kelompok al mala’ ini terhadap dakwah para nabi walaupun
dengan sikap yang setengah hati. Dari pemaparan tentang karakteristik kelompok
mad’u ini dalam kaitan sikapnya terhadap kebenaran dakwah, diperoleh pemahaman
sebagai berikut :
Pertama, kelompok al mala’ adalah
kaum eksekutif masyarakat yang memiliki pengaruh besar, bila mana mereka
beriman, bagi kesuksesan dakwah. Hal demikian, karena kemampuan mereka untuk
mengakomodasi massa dan pengaruhnya dalam membentuk opini-opini publik. Masuk
dalam kelompok ini adalah pemuka politik (al-zu’ama) dan pemuka agama
(al-ruhaba).
Kedua, karena posisinya yang
istimewa, kelompok mad’u ini cenderung subjektif dan dipengaruhi oleh rasa
gengsi yang teramat tinggi. Inilah sisi negatif kelompok mad’u yang satu ini
(al mala’) seperti diungkap literatur-literatur dakwah.
Ketiga, kelompok ini merupakan
panutan dan sumber rujukan orang banyak. Atas dasar ini, maka kekuatan dan
pengaruh mereka bisa digunakan untuk memperluas jangkauan dakwah.
Keempat, sikap represif, kooperatif
atau setengah hati kelompok al mala’, sangat terkait dengan
kepentingan-kepentingan subjektif dan hubungan mereka dengan da’i. Demikian
itu, karena mereka adalah kelompok yang mempertahankan status quo dalam masyarakat.
Ketika kebenaran dakwah dinilai sebagai suatu hal yang sekunder dan
komplementer, maka sikapnya akan menjadi setengah hati seperti yang terjadi
pasa pemuka Bani Israil. Mereka juga akan menyambut dakwah dengan penuh
antusias dan kooperatif jika dirasa kebenaran dakwah itu dapat mengukuh
statusnya dan menunjang kepentingannya.
b.
Jumhur
al-Nas
Dilihat dari segi, jumhur al-nas,
berarti kelompok mayoritas, merupakan kelompok terbesar dalam masyarakat. Dalam
bahasa Indonesia, term jumhur al-nas, setara dengan rakyat jelata. Dilihat dari
denah pemetaan sosial, walau sebagai mayoritas, mereka adalah orang-orang yang
selalu berada dibawah kewenangan kaum penguasa (al mala’). Bagi Abdul Karim
Zaidan, diantara banyak kategori mad’u., jumhur al-nas, kelompok yang kemudian
disebut sebagai mayoritas manusia ini, adalah orang-orang yang paling tanggap
menerima seruan dan ajakan dakwah.[5]
Hal demikian, kiranya dapat ditinjau dari dua perspektif, historis dan
psikologis.
Dari tinjauan historis, mayoritas
manusia yang merupakan kaum lemah secara faktual adalah mereka yang paling
simpatik dan cepat menerima seruan dakwah para Rasul. Penjelasan yang terkait
dengan ini, baik dari teks al-Qur’an maupun sirah Nabi, terbilang sangat
banyak. Adapun dari sudut psikologis, mayoritas manusia yang terdiri kaum fakir
miskin, dan orang-orang lemah adalah mereka yang selalu berjuang melawan
penindasan dan kesewenang-wenangan penguasa dan kaum elite. Dalam kondisi
demikian, secara kejiwaan, mereka senantiasa mendambakan tampilnya sosok berwibawa yang memiliki ketulusan untuk
bersama-sama memperjuangkan nasib
mereka.
c.
Al-Munafiqun
Dalam pengertian terminologinya,
al-nifaq berarti menampakkan
sesuatu yang berbeda secara esensial
dengan hakikat sebenarnya. Bagi al-Ashfahany, kemunafikan adalah suatu sikap
keagamaan yang timpang alias tidak utuh, yaitu menerima agama dari satu sisi,
tetapi menolaknya dari sisi yang lain (al-dukhul fi syar’i min babin wa
al-khuruj anhu min babin).[6]
Dalam al-Qur’an terdapat satu surat
yang bicara secara spesifik tentang orang-orang munafik, yaitu surah
al-Munafiqun, yang menurut konsensus pakar tafsir diturunkan pada periode
Madinah. Dalam surat tersebut, al-Qur’an
mendeskripsikan munafiqun sebagai kelompok orang yang secara eksplisit
mengakui kerasullan Nabi Muhammad, namun pengakuan tersebut dilakukan secara
terpaksa, yakni sebagai tameng demi menjaga harta dan nya mereka dari ketentuan
kaum muslimin. Orang-orang munafik dilukiskan sebagai golongan yang telah
menyimpang dari sikap beragama yang sejati (fasiq), da karenanya, mereka
menjadi apriori terhadap seruan dakwah (lam tajid al-mawa’iz wa nasa’ih).[7]
Terakhir surat tersebut menyebutkan bahwa orang-orang munafik itu amat lihai
dalam melakukan provokasi publik dan membuat tekanan psikologis terhadap orang-orang
beriman.
Dari tinjauan historis, munafik dan
kemunafikan memang baru terlihat jelas gejalanya pada fase perkembangan dakwah
Madinah. Hal demikian dapat dipahami, mengingat watak kemunafikan itu sendiri
yang cenderung oportunis dan mencari posisi aman, lahir bersamaan dengan
penegasan identitas kaum beriman yang ditandai dengan kebangkitan kekuatan
politik. Jika kita memaklumi bahwa kemunafikan itu muncul dari tekanan sosial
(sosial pressure), yang diakibatkan oleh desakan untuk memperoleh pengakuan
komunitas atau kemudahan bisnis, maka sebetulnya keislaman golongan munafik
dapat dibilang sebagai keislaman yang formalitas. Maksudnya, keislaman yang
hanya simbol tanpa memahami makna dan pesan-pesan agama secara hakiki.
Keberagaman yang bercampur dengan
kekufuran, kemunafikan akan selalu muncul disetiap tempat dan waktu. Adalah
tugas para dai untuk dapat mengidentifikasi setiap gejala kemunafikan seperti
hadis karakter orang munafik yang amat terkenal itu, yang tertinggal dalam
bentuk praktik-praktik keberagaman umat dan kemudian memperbaikinya.
d.
Kelompok
pelaku maksiat (al-Usat)
Kata al-usat merupakan bentuk
jamak(plural) dari kata ‘asin, berarti pendurhaka, adalah orang yang suka
melakukan dosa dan maksiat. Golongan mad’u yang satu ini, menurut Abdul Karim
Zaidan, adalah mereka yang secara batin masih memiliki pijakan yang kuat dari
agama, namun secara behavioral menunjukan indikasi yang sebaliknya. Maksusnya,
mereka adalah orang-orang yang diakui memiliki komitmen terhadap keyakinan
fundamental islam, namun keyakinan ini tidak mammpu diimplimentasikan dalam
realitas kehidupan. Lebih dari itu, bahkan mereka kerap kali menunjuka perilaku
yang berlawanan dengan apa yang diyakininya itu.[8]
Dengan mengutip al-Qur’an surat
an-Nisa/4:17, Zaidan menjelaskan bahwa akar penyebab kemaksiatan kelompok mad’u
ini, adalah karena ketidak tahuan pelaku (jahl al-‘asiy), baik terhadap
kekuasaan Alloh, implikasi dari kemaksiatannya bagi dirinya dan sosial., maupun
keharusan bersyukur kepada sang pemberi nikmat.[9]
Dalam kondisi demikian, menurut Zaidan kemaksiatan yang lahir dari kebodohan
ini dapat dimaklumi. Kewajiban da’i adalah menunjukan sikap bersahabat
(al-Isyfaq) dan membimbingnya dengan sabar serta welas asih (rahmat).
2.
Pengelompokan
Mad’u Berdasarkan Antusias Kepada Dakwah
Al-Qur’an menyebutkan tiga kelompok
mad’u, yaitu kelompok yang bersegera dalam menerima kebenaran (al-sabiquna bi
al-khirat), kelompok pertengahan (muqthasid), dan kelompok yang menzalimi diri
sendiri (zalim linafsih). Kelompok mad’u pertama menurut pakar tafsir kenamaan
Wahbah al-Zuhayli yaitu golongan mad’u yang cenderung antusias pada kebaikan
dan tanggap terhadap seruan-seruan dakwah baik yang sunnah apa lagi yang wajib.
Sebaliknya, mereka amat takut mengerjakan hal-hal yang diharamkan agama, disamping
berusaha sebisa mungkin menghindari yang dimakhruhkan atau malah hal-hal yang
masih dibolehkan (mubah).[10]
Kelompok mad’u yang kedua, lanjut Zuhayli, adalah golongan pertengahan. Mereka
merupakan orang-orang yang mengerjakan kewajiban-kewajiban agama dan
meninggalkan yang diharamkan,namun pada waktu yang bersamaan, mereka kerap kali
melakukan hal-hal yang dimakhruhkan dan kurang tanggap kepada kebaikan yang
dianjurkan (sunnah). Adapun kelompok yang terakhir, adalah kelompok yang senang
melampaui batasan-batasan agama dan kerap melakukan larangan-larangan agama.
Menurut al-Biqa’i, kelompok inilah yang justru paling banyak ditemukan dalam
masyarakat.[11]
3.
Pengelompokan
Mad’u Berdasarkan Kemampuannya Menangkap Pesan Dakwah
Ibn Rusyd mengategorikan manusia dalam
tiga kelompok, yaitu :
1.
Ahl
al-Burhan
adalah representasi dari pemuka
agama yang umum dikenal dengan sebutan ulama atau kaum burhani, yaitu mereka
yang dalam menangkap pesann-pesan dakwah didekati dengan mengajukan bukti-bukti
demonstratif yang tak terbantahkan.[12]
2.
Ahl
al-Jidal
adalah kelompok mad’u menengah
terkait tingkat pemahaman agamanya. Dalam menerima pesan dakwah mereka belum
mampu menyingkap hakikat-hakikat terdalam agama, dan baru cukup didekati dengan
dialog (jadal) melalui adu argumentasi.
3.
Ahl
al-Khitab
adalah kelompok terbanyak dalam
masyarakat. Karena tingkat pemahaman agamanya yang rendah, kelompok mad’u ini
tidak tertarik pada pendekatan-pendekatan dialektis dan belum mampu memahami
hakikat terdalam agama. Untuk itu, cara
retorik (khitaby) melalui tutur kata dan nasihat yang baik dalam menyampaikan
pesan dakwah dipandang sebagai jalan yang paling bijak. [13]
4.
kategori
Mad’u Menurut Keyakinannya
Ada dua kategori mad’u menurut
keyakinannya, yaitu kelompok mad’u yang beragama islam dan kelompok mad;u yang
tidak beragama islam. Tiga kelompok mad’u seperti ahl al-burhan, ahl al-jidal,
dan ahl al-kitab adalah untuk memilah tipe mad’u yang masuk dalam kelompok
mad’u muslim. Adapula kelompok mad’u yang nonmuslim ada tiga golongan, yaitu
ahl al-kitab yang sebelumnya dijelaskan, musyrikun dan kafirun. Menurut Abdul
Moqsith Gazali dalam kajiannya tentang al-Qur’an, kelompok musyrikun disebut
untuk mewakili kaum pagan Quraish yang tidak mengimani Muhammad sebagai Rasul
dan tidak memiliki pegangan kitab sucipun. [14]
Adapun kelompok kafirun, disebut untuk menunjuk kepada mereka yang gemar
menutup-nutupi kebenaran dan memutar balikan fakta, baik dari golongan
musyrikun maupun ahl al-kitab. [15]
Terkait dengan dakwah, pemaparan
mengenai ahl al-kitab yang kiranya sebagai representatif dari kelompok mad’u
nonmuslim, diharapkan mampu memberikan pandangan bijak dalam menyampaikan pesan
dakwah. Sebagai objek dakwah, disatu sisi kelompok mad’u ini boleh dibilang
secara intrinsik telah memiliki sikap “Islam” (berketuhanan yang Maha Esa) seperti
tersurat dalam ajaran kitab suci mereka, disisi lain mereka seperti pemaparan
al-Qur’an tidak lepas dari penyimpangan-penyimpangan pandangan hidup yang
benar.
IV.
Mad’u
dan Pilihan Metode
Metode dakwah bersifat dinamis dan
kontekstual, sesuai dengan karakter objek yang sedang dihadapi. Kitab suci
al-Qur’an telah menggariskan nilai-nilai universal terkait dengan metode atau
langkah dakwah. Nilai-nilai universal ini, secara empiris dan historis, dapat
dilihat dalam praktik dakwah Rosululloh SAW, sebagai teladan para da’i,
kemudian dalam praktik dakwah para sahabat, dan para da’i islam setelah mereka.
prinsip-prinsip metodologis itu ada empat, yaitu arif bijaksana (bi al-hikmah),
nasihat yang baik (al-mau ’izhatil al-hasanah), dialog dengan cara terbaik
(al-jadal al-husna), dan pembalasan berimbang (iqabah bi al-mitsl). Seperti
firman Allah :
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan
balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika
kamu bersabar,sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang bersabar.”
(QS. An-Nahl’16: 125-126)
1.
Metode
Hikmah
Dari segi pemaknaan leksial
(etimologi), hikmah digunakan untuk menunjuk kepada arti-arti seperti keadilan,
ilmu, kearifan, kenabian dan juga al-Qur’an. Dari kata hikmah juga didapat
derivasinya “hakim”, yang berarti seorang yang berfrofesi memutuskan
perkara-perkara hukum (al-mutqin li umur al-hukm).[16]
Singkatnya dari tinjauan terminologi hikmah merujuk kepada pengertian ketepatan
berkata dan bertindak dan memperlakukan sesuatu secara bijaksana (al-ishabat fi
al-aqwal wa al-fa’al-wa wadla’a kulla syay’ fi maudli’ihi).
Menurut al-Qathany, hikamh dalam
konteks metode dakwah tidak dibatasi hanya dalam bentuk dakwah dengan ucapan
yang lembut, targhib (nasihat motivasi), kelembutan dn amnesti, seperti selama
ini dipahami orang. Lebih dari itu hikmah sebagai metode dakwah juga meliputi
seluruh pendekatan dawah dengan kedalaman rasio, pendidikan (ta’lim wa
tarbiyyah), nasihat yang baik (mau’izat al-hasanah), dialog yang baik pada
tempatnya, juga dialog dengan para penentang yang zalim pada tempatnya, hingga
meliputi kecaman, ancaman dan kekuatan senjata pada tempatnya [17]
Hikamah sebagai induk dari seluruh
pendekatan dakwah, mencakup juga pendekatan dengan perkataan yang bijak (hikmat
al-qaul). Terkait dengan ini, al-Qahtany membagi kaum muslim dalam dua
kelompok.
Pertama,
mereka yang bersikap cepat-tanggap menerima kebenaran dakwah atau mereka yang
pernah disebut oleh Wahbah Zuhayli dengan istilah al-Sabiquna fi al khairat.
Pendekatan dakwah yang tepat untuk kelompok ini menurut al-Qahtany adalah
melalui perkataan bijak dalam bentuk penerangan-penerangan tentang hakikat
kebenaran secara ilmiah, scientifik (‘ilman), praktis (“amalan), dan keimanan
(i’tiqadan).[18]
Kedua,
yaitu
kelompok mad’u yang pengertiannya dicakup melalui terminologi al’usat-dalam
pengkategorian Abdul Karim Zaidan. Menurut al-Qahtany, pendekatan dakwah yang
tepat untuk kelompok ini adalah salah satu dari tiga bentuk perkataan bijak
berikut ini. pertama, al-mau’izhah al-hasanah, kedua, al-targhib wal al-tarhib,
ketiga, perumpamaan-perumpaan (hikmat al-qaul al-tashwiriyyah).[19]
2.
Mau
‘izhah Hasanah
Pendekatan dakwah ini secara
praktikal terdiri dari dua bentuk, pengajaran (ta’lim) dan pembinaan (ta’dib).
Dakwah mau’izhah hasanah dalam bentuk ta’lim dilakukan dengan menjelaskan
keyakinan tauhid disertai pengalaman implikasinya dari hukum, syariat yang
lima, wajib, haram, sunah, makruh dan mubah dengan penekanan tertentu sesuai
dengan kondisi mad’u dan memperingatkan mad’u dari bersikap gemampang
(al-tahawun) terhadap salah satunya.[20]
Adapulla pendekatan melalui
pembinaan yaitu dilakukan dengan penanaman moral dan etika (budi pekert mulia)
sepert kesabaran, keberanian, menepati janji, welas kasih, hingga kehormatan
diri, serta menjelaskan efek dan manfaatnya dalam kehidupan seperti emosional,
khianaat, pengecut, cengeng dan bakhil.[21]
3.
Debat
yang Terpuji (al-Jadal al-Husna)
Pendekatan dakwah ini dilakukan
dengan dialog yang berbasis budi pekerti luhur, tutur kalam yang lembut, serta
mengalah kepada kebenaran dengan disertai argumentasi demostrstif rasional dan
tekstual sekaligus, dengan maksud menolak argumen batil yang dipakai lawan
dialog. Debat yang terpuji dalam dakwah tidak memiliki tujuan pada dirinya
sendiri, ia lebih ditujukan sebagai wahana (wasilah) untuk mencapai kebenaran
dan petunjuk Alooh SWT.[22]
Jika dalam proses pencarian
kesepakatan itu mereka membuka hati dan menerima hidayah Islam itu sangat baik,
tetapi jika mereka sebatas sepakat saja tanpa beriman, mereka tidak boleh
dipaksa dengan alasan apapun, karena Alloh Maha Mengetahui siapa yang
menyimpang dari jalan-Nya dan siapa orang yang mendapat petunjuk.[23]
4.
Tindakan
Balasan Setimpal (Iqabah bi al-Mitsl)
Pendekatan dakwah semacam ini
dinamai al-iqab bi al-mitsl yang terjemahannya “dakwah dengan balasan
setimpal”. Dalam pemetaan metode dakwah, pendekatan balasan setimpal berada
masih dalam lingkup dakwah bi al hikmah yang diistilahkan dengan hikmat
al-quwwah atau jihad qitaly (jihad perang).[24]
Pendekatan dakwah dengan cara kekerasan atau ketegasan ini dibatasi dengan
banyaknya persyaratan yang ketat, bahkan menurut ketentuan al-Qur’an mesti
dijadikan alternatif terakhir dan bila perlu, memberi amnesti itu lebih baik
dari pada pembalasan. Demikian itu karena islam dalam watak dasarnya adalah
agama yang menghendaki kedamaian dan senantiasa mengajak kepada kedamaian.
Hikmat al-quwwah sebagai pendekatan
dakwah menurut al-Qahtany juga berlaku terhadap kaum muslim dalam wujud hadd
dan ta’zir.[25]
Penggunaan dakwah ini dimaksudkan untuk memperoleh stabilitas sosial dengan
bertindak tegas terhadap setiap pelanggar hukum yang telah ditetapkan bersama.
Prinsip hukuman dalam berdakwah memang sesekali perlu digunakan demi
menciptakan masyarakat beradab yang sadar hukum, sebab bagaimanapun juga dakwah
dihadirkan untuk memberikan kebahagiaan hidup bermasyarakat yang hanya mungkin
diwujudkan melalui keamanan dan ketertiban sosial berdasarkan hukum yang
disepakati.
[1] HR. Muslim. Lihat muslim
Ibn Hujaj al-Qusyayri, Sahih Muslim, (Mauqi’ al-Islam), jus 1, h. 21 dari ‘Abd.
Allah Ibn Mas’ud
[2] Abdul Karim Zaidan, Op.
Cit., h. 374.
[3] Ibid., h. 375. Lihay juga
Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuny, Op. Cit., h. 170.
[4] Lihat QS. Al-A’raf/7:59-60
[5] Abdul Karim Zaidan, Op.
Cit., h. 319.
[6] Al-Ashfahany, Op. Cit.,
juz 2, h. 488
[7] Ahmad Mustafa al-Maraghi,
Tafsir al-Maraghi, (Kairo;Maktabah Mustafa al-Habibi, 1946), cet. Pertama, h.
112.
[8] Abdul Karim Zaidan, Op.
Cit., h. 406
[9] Ibid., h. 406.
[10] Wahbah al-Zuhayli, Tafsir
al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al Manhaj, (Damaskus: Dar al-fikr
al-Mu’ashir, 1997). Juz 22, h. 266
[11] Ibrahim Ibn ‘Umar Abu
Bakr al-Biqa’iy, Nazm al-Durar li Tanasub al-Ayat wa al-suar, (Mauqi’
al-Tafsir), Juz 7, h. 23
[12] Abu al Walid Ibn Muhammad Ibn Rusyd al Qurtuby, Fasl
al-Maqal Fi Ma Bain al-Hikmah wa al-Syariah min al-ittisal, (Kairo: Dar
al-Ma’arif, tt), cet. Ketiga, h. 31.
[13] Ibid.
[14] Baca Abdul Moqsith
Gazali, Argumen Pluralisme Agama:
Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, (Jakarta: Kata Kita, 2009), h. 318.
[15] Ibid., h.302.
[16] Said ‘Ali Wahf
al-Qahthany, al-Hikmah fi al-Dakwah ila Allah, (Saudi Arabia: Muassasat
al-Juraysi, 1992),h. 23.
[17] Sa’id ‘Ali wahf
al-Qahtani, OP. Cit., h. 35.
[18] Ibid., h. 481.
[19] Ibid., h. 482.
[20] Sa’id ‘Ali Wahf
al-Qahtany., Op. Cit., h. 482
[21] Ibid., h. 484.
[22] Sayyid Raziq Tawwil, al-Da’wah fi al-Islam
‘Aqidah wa manhaj, (Mekkah: Maktabah Rabitat al-‘Alam al-Islamy, tt), h. 99.
[23] QS. Ali Imran’3:64.
[24] Sa’id ‘Ali Wahf
al-Qahtany., Op.cit., h. 519.
[25] Ibid., h. 559.
masya Allah...
BalasHapusbagus banget ka' , pemaparannya terperinci,