MAKALAH PROFIL HAMKA
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Dakwah Antar Budaya
Disusun Oleh :
Nesya Puspita Putri
1124020078
KPI/III/B
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
1435 H/2013 M
BAB I
PEMBAHASAN
- PROFIL
Hamka lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah:
13 Muharram 1362] di Minangkabau, Sumatera. Ia lahir sebagai anak pertama dari tujuh orang
bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Ayahnya bernama Abdul Karim Amrullah, ulama pembaru Islam di
Minangkabau yang akrab dipanggil dengan sebutan Haji Rasul, sementara ibunya,
yakni Sitti Shafiyah, berasal dari keturunan seniman di Minangkabau. Adapun
ayah dari Abdul Karim, kakek Hamka, yakni Muhammad Amrullah
dikenal sebagai ulama pengikut Tarekat Naqsyabandiyah.
Sebelum mengenyam pendidikan di sekolah,
Hamka tinggal bersama neneknya di sebuah rumah di dekat Danau Maninjau.
Ketika berusia enam tahun, ia pindah bersama ayahnya ke Padang Panjang.
Sebagaimana umumnya anak-anak laki-laki di Minangkabau, sewaktu kecil ia
belajar mengaji dan tidur di surau
yang berada di sekitar tempat ia tinggal, sebab anak laki-laki Minang memang
tak punya tempat di rumah. Di surau, ia belajar mengaji dan silek, sementara di
luar itu, ia suka mendengarkan kaba,
kisah-kisah yang dinyanyikan dengan alat-alat musik tradisional
Minangkabau. Pergaulannya dengan tukang-tukang kaba, memberikannya
pengetahuan tentang seni bercerita dan mengolah kata-kata. Kelak melalui novel-novelnya,
Hamka sering mencomot kosakata dan istilah-istilah Minangkabau. Seperti halnya
sastrawan yang lahir di ranah Minang, pantun dan petatah-petitih menjadi bumbu
dalam karya-karyanya.
PENDIDIKAN
Pada tahun 1915, setelah usianya genap tujuh tahun, ia dimasukkan ke sebuah
Sekolah Desa dan belajar
ilmu pengetahuan umum seperti berhitung dan membaca di sekolah tersebut. Pada
masa-masa itu, sebagaimana diakui oleh Hamka, merupakan zaman yang
seindah-indahnya pada dirinya. Pagi ia bergegas pergi ke sekolah supaya dapat
bermain sebelum pelajaran dimulai, kemudian sepulang sekolah bermain-main lagi,
bercari-carian, bermain galah, bergelut, dan berkejar-kejaran, seperti
anak-anak lainnya bermain.[2]
Dua tahun kemudian, sambil tetap belajar setiap pagi di Sekolah Desa, ia juga
belajar di Diniyah School setiap
sore. Namun sejak dimasukkan ke Thawalib
oleh ayahnya pada tahun 1918, ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran di
Sekolah Desa. Ia berhenti setelah tamat kelas dua. Setelah itu, ia belajar di
Diniyah School setiap pagi, sementara sorenya belajar di Thawalib dan malamnya
kembali ke surau. Demikian kegiatan Hamka kecil setiap hari, sesuatu
yang—sebagaimana diakuinya—tidak menyenangkan dan mengekang kebebasan masa
kanak-kanaknya.
Selama belajar di Thawalib, ia bukan
termasuk anak yang pandai, bahkan ia sering tidak hadir beberapa hari karena
merasa jenuh dan memilih mencari ilmu dengan jalannya sendiri. Ia lebih senang
berada di sebuah perpustakaan umum milik gurunya, Zainuddin Labay El
Yunusy daripada dipusingkan dengan pelajaran-pelajaran yang harus
dihafalnya di kelas. Dari perpustakaan tersebut, ia leluasa membaca
bermacam-macam buku, bahkan beberapa ia pinjam untuk dibawanya pulang. Namun,
karena buku yang dipinjamnya itu tidak ada hubungannya dengan pelajaran, ia
sempat dimarahi oleh ayahnya ketika ketahuan tengah asyik membaca Kaba Cindua Mato.
Ayahnya berkata, "Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti, atau
menjadi orang tukang cerita?"
Sebagai usaha untuk menunjukkan diri
kepada ayahnya dan sebagai akibat dari persentuhannya dengan buku-buku yang
dibacanya tentang daya tarik Jawa Tengah, menyebabkan Hamka sangat berminat
untuk merantau ke Tanah Jawa. Pada saat yang sama, ia tidak lagi tertarik untuk
menyelesaikan pendidikan di Thawalib. Setelah belajar selama empat tahun, ia
memutuskan untuk keluar dari Thawalib, sementara program pendidikan di sekolah
tersebut dirancang selama tujuh tahun. Ia keluar tanpa memperoleh ijazah. Pada
masa-masa setelah itu, Hamka sempat dibawa ke Parabek,
sekitar 5 km dari Bukittinggi pada tahun 1922 untuk belajar
kepada Syekh Ibrahim Musa, tetapi tidak berlangsung
lama. Ia lebih memilih mengikuti kata hatinya untuk menuntut ilmu dan
pengalaman menurut caranya sendiri. Ia memutuskan untuk bertolak ke pulau Jawa. Namun, usaha yang
pertama sempat terjegal oleh ayahnya.
PERANTAUAN KE JAWA
Hamka telah berkelana ke sejumlah tempat
di Minangkabau sejak berusia remaja, sehingga dijuluki oleh ayahnya dengan
sebutan "Si Bujang Jauh". Ketika berusia 15 tahun, setelah mengalami
suatu peristiwa yang mengguncangkan jiwanya, yakni perceraian orang tuanya,
Hamka telah berniat pergi ke pulau Jawa setelah mengetahui bahwa Islam di Jawa
lebih maju daripada Minangkabau terutama dalam hal pergerakan dan organisasi.
Namun setiba di Bengkulu,
Hamka terkena wabah penyakit cacar,
sehingga setelah sekitar dua bulan berada di atas pembaringan, ia memutuskan
kembali ke Padang Panjang. Meski begitu niatnya untuk pergi ke pulau Jawa tidak
terbendung. Pada tahun 1924, setahun setelah sembuh dari penyakit cacar, ia
kembali berangkat ke pulau Jawa.
Setiba di pulau Jawa, Hamka bertolak ke Yogyakarta
dan menetap di rumah adik kandung ayahnya, Ja'far Amrullah. Melalui pamannya
itu, ia mendapat kesempatan mengikuti berbagai diskusi dan pelatihan pergerakan
Islam yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah
dan Sarekat Islam.
Selain mempelajari pergerakan Islam, ia juga meluaskan pandangannya dalam
persoalan gangguan terhadap kemajuan Islam seperti kristenisasi
dan komunisme.
Selama di Jawa, ia aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan agama. Dalam
berbagai kesempatan, ia berguru kepada Bagoes Hadikoesoemo, HOS Tjokroaminoto,
Abdul Rozak Fachruddin, dan Suryopranoto.
Sebelum kembali ke Minangkabau, ia sempat mengembara ke Bandung
dan bertemu dengan tokoh-tokoh Masyumi seperti Ahmad Hassan
dan Mohammad Natsir, yang memberinya kesempatan
belajar menulis dalam Majalah Pembela Islam. Selanjutnya pada tahun
1925, ia pergi ke Pekalongan, Jawa Timur untuk menemui Ahmad Rasyid Sutan Mansur—yang waktu itu
menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan—sekaligus belajar
kepadanya. Selama di Pekalongan, ia menetap di rumah kakak iparnya itu dan
mulai tampil berpidato di beberapa tempat.
Dalam perantauan pertamanya ke pulau Jawa,
ia mengaku memiliki semangat baru dalam mempelajari Islam. Ia juga melihat ada
perbedaan antara misi pembaruan Islam di Minangkabau dan Jawa; jika di
Minangkabau ditujukan pada pemurnian ajaran Islam dari praktik yang dianggap
salah, seperti tarekat,
taklid,
dan khirafat, maka di Jawa lebih berorientasi
kepada usaha untuk memerangi keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan.
MENUNAIKAN IBADAH HAJI
Suasana pelaksanaan haji di Masjidil Haram,
Mekkah.
Perjalanan Hamka ke Mekkah pada tahun 1927 meletupkan inspirasi baginya untuk
menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah
Setelah setahun lamanya berada di Jawa,
pada bulan Juli 1925 Hamka kembali ke Padang Panjang. Di Padang Panjang, ia
menulis majalah pertamanya berjudul Chatibul Ummah, yang berisikan
kumpulan pidato yang didengarkannya di Surau Jembatan Besi, dan Majalah Tabligh
Muhammadiyah. Di sela-sela aktivitasnya dalam bidang dakwah melalui
tulisan, ia menyempatkan berpidato di beberapa tempat di Padang Panjang. Namun
pada saat itu, semuanya justru dikritik tajam oleh ayahnya, "Pidato-pidato
saja adalah percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya
pidato-pidatomu itu." Di sisi lain, ia tidak mendapatkan penerimaan baik
dari masyarakat. Ia sering kali dicemooh sebagai "tukang pidato yang tidak
berijazah", bahkan ia sempat mendapat kritikan dari sebagian ulama karena
ketika itu ia belum menguasai bahasa Arab dengan baik. Berbagai kritikan yang ia terima di
tanah kelahirannya, ia jadikan cambuk untuk membekali diri lebih matang.
Pada bulan Februari 1927, ia mengambil
keputusan pergi ke Mekkah
untuk memperdalam ilmu pengetahuan kegamaannya, termasuk untuk mempelajari
bahasa Arab dan menunaikan ibadah hajinya yang pertama. Ia pergi tanpa pamit
kepada ayahnya dan berangkat dengan biaya sendiri. Selama di Mekkah, ia menjadi
koresponden Harian Pelita Andalas
sekaligus bekerja di sebuah perusahaan percetakan milik Tuan Hamid, putra Majid
Kurdi, yang merupakan mertua dari Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Di tempat ia
bekerja itu, ia dapat membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin Islam
dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya.
Menjelang pelaksanaan ibadah haji
berlangsung, Hamka bersama beberapa calon jemaah haji lainnya mendirikan
organisasi Persatuan Hindia-Timur, sebuah organisasi yang memberikan pelajaran
manasik haji kepada calon jemaah haji asal Indonesia. Setelah menunaikan haji,
dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, ia berjumpa dengan Agus Salim
dan sempat menyampaikan hasratnya untuk menetap di Mekkah, tetapi Agus Salim
justru menasihatinya untuk segera pulang. "Banyak pekerjaan yang jauh
lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau
lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di tanah airmu
sendiri", ujar Agus Salim. Ia pun segera kembali ke tanah air setelah
tujuh bulan bermukim di Mekkah. Namun, bukannya pulang ke Padang Panjang, Hamka
malah menetap di Medan,
kota tempat berlabuhnya kapal yang membawanya pulang.
KARIER DI MEDAN
Selama di Medan, ia banyak menulis artikel
di berbagai majalah dan sempat menjadi guru agama selama beberapa bulan di Tebing Tinggi. Ia mengirimkan
tulisan-tulisannya untuk surat kabar Pembela Islam di Bandung
dan Suara Muhammadiyah yang dipimpin Abdul Rozak Fachruddin di Yogyakarta.
Selain itu, ia juga bekerja sebagai koresponden di Harian Pelita Andalas
dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekkah
pada tahun 1927. Pada tahun 1928, ia menulis romannya yang pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah.
Pada tahun yang sama, ia diangkat sebagai redaktur Majalah Kemajuan Zaman
berdasarkan hasil konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang. Setahun
berikutnya, ia menulis beberapa buku, antara lain: Agama dan Perempuan, Pembela
Islam, Adat Minangkabau, Agama Islam, Kepentingan Tabligh,
dan Ayat-ayat Mi’raj. Namun, beberapa di antara kayanya tersebut disita
karena dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial yang sedang berkuasa ketika itu.
Pada 28 Juni 1926, gempa bumi berkekuatan 7,6 SR
meluluhlantakkan sebagian besar Padang Panjang, termasuk rumah ayah Hamka di
Gatangan, Pasar Usang
Sewaktu di Medan, orang-orang di
kampungnya sudah berkali-kali berkirim surat memintanya pulang, tetapi selalu
ditolak oleh Hamka. Oleh sebab itu, ayahnya meminta Ahmad Rasyid Sutan Mansur untuk menjemput
dan membujuk Hamka pulang. Bujukan kakak iparnya itu akhirnya membuat Hamka
luluh, dan kemudian ia pulang ke kampung halamannya di Maninjau,
sementara rumah ayahnya di Padang Panjang luluh lantah akibat gempa bumi pada tahun 1926. Setiba di
kampung halamannya, ia diterima ayahnya dengan penuh haru hingga menitikkan air mata.
Ayahnya terkejut mengetahui Hamka telah berangkat haji dan pergi dengan ongkos
sendiri. Ayahnya bahkan berkata, "Mengapa tidak engkau beri tahu bahwa
begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan
miskin. Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah." Sejak saat
itu, pandangan Hamka terhadap ayahnya mulai berubah. Namun, setelah sekitar
setahun menetap di Sungai Batang, ia kembali meninggalkan
kampung halamannya.
Hamka pindah ke Medan pada tahun 1936. Di
Medan, ia bekerja sebagai editor sekaligus menjadi pemimpin redaksi sebuah
majalah pengetahuan Islam yang didirikannya bersama M. Yunan Nasution,
yaitu Majalah Pedoman Masyarakat.
Melalui Pedoman Masyarakat, ia untuk pertama kalinya memperkenalkan nama pena
"Hamka". Selama di Medan, ia menulis Di Bawah Lindungan Ka'bah, yang
terinspirasi dari perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927. Setelah Di Bawah
Lindungan Ka'bah diterbitkan pada tahun 1938, ia menulis Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang
pada awalnya ditulis sebagai cerita bersambung dalam Pedoman Masyarakat.
Selain itu, ia juga menerbitkan beberapa roman dan buku-buku lainnya seperti: Merantau ke Deli, Keadilan
Ilahi, Tuan Direktur, Angkatan Baru, Terusir, Di
Dalam Lembah Kehidupan, Ayahku, Tasawuf Modern, dan Falsafah
Hidup. Namun pada tahun 1943, Majalah Pedoman Masyarakat yang
dipimpinnya dibredel oleh Jepang,
yang ketika itu berkuasa di Indonesia.
KARIER DAN KEHIDUPAN SELANJUTNYA
Muhammadiyah
Setelah perkawinannya dengan Sitti Raham,
Hamka aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah cabang Minangkabau, yang cikal
bakalnya bermula dari perkumpulan Sendi Aman yang didirikan oleh ayahnya pada
tahun 1925 di Sungai Batang. Selain itu, ia sempat
menjadi pimpinan Tabligh School, sebuah sekolah agama yang didirikan
Muhammadiyah pada 1 Januari 1930.
Sejak menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo pada tahun 1928,
Hamka tidak pernah absen menghadiri kongres-kongres Muhammadiyah berikutnya.
Sekembalinya dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, sampai akhirnya ia
diangkat sebagai Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang. Seusai Muktamar Muhammadiyah
ke-19 di Bukittinggi
pada tahun 1930, disusul dengan kongres berikutnya di Yogyakarta,
ia memenuhi undangan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis.
Selanjutnya pada tahun 1932, ia diutus oleh Muhammadiyah ke Makassar
dalam rangka mempersiapkan dan menggerakkan semangat rakyat untuk menyambut
Muktamar Muhammadiyah ke-21 di Makassar. Selama di Makassar, ia sempat
menerbitkan Al-Mahdi, majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali
sebulan. Pada tahun 1934, setahun setelah menghadiri Kongres Muhammadiyah di Semarang,
ia diangkat menjadi anggota tetap Majelis Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Tengah.
Kariernya di Muhammadiyah kian menanjak
sewaktu ia pindah ke Medan. Pada tahun 1942, bersamaan dengan jatuhnya
Hindia-Belanda ke dalam tampuk kekuasaan penjajah Jepang, Hamka terpilih
menjadi pimpinan Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Timur menggantikan H.
Mohammad Said. Namun pada Desember 1945, ia memutuskan kembali ke Minangkabau
dan melepaskan jabatan tersebut. Pada tahun berikutnya, ia terpilih menjadi
Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto. Jabatan ini ia
rengkuh hingga tahun 1949.
Pada tahun 1953, ia terpilih sebagai
pimpinan pusat Muhammadyiah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto.
Sejak saat itu, ia selalu terpilih dalam Muktamar Muhammadiyah selanjutnya,
sampai pada tahun 1971 ia memohon agar tidak dipilih kembali karena merasa
uzur. Akan tetapi, ia tetap diangkat sebagai penasihat pimpinan pusat
Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.
Meninggal dunia
Setelah mengundurkan diri dari jabatan
ketua MUI, kesehatannya menurun. Atas anjuran dokter Karnen Bratawijaya, dokter
keluarga itu, ia diopname di Rumah Sakit Pusat
Pertamina pada 18 Juli 1981, yang bertepatan dengan awal Ramadan.
Pada hari keenam dirawat, ia sempat
menunaikan salat Duha
dengan bantuan putrinya, Azizah, untuk bertayamum.
Siangnya, beberapa dokter datang memeriksa kondisinya, dan kemudian menyatakan
bahwa ia berada dalam keadaan koma. Kondisi tersebut tetap berlangsung sampai
malam harinya. Tim dokter menyatakan bahwa ginjal, paru-paru dan saraf
sentralnya sudah tidak berfungsi lagi, dan kondisinya hanya bisa dipertahankan
dengan alat pacu jantung. Pada
pukul 10 pagi keesokan harinya, anak-anaknya sepakat untuk mencabut alat pacu
jantung, dan Hamka menghembuskan napas terakhirnya tidak lama setelah itu.[58]
Hamka meninggal dunia pada hari Jum'at, 24 Juli
1981 pukul 10 lewat 37
menit dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya di Jalan Raden
Fatah III. Antara pelayat yang hadir untuk memberi penghormatan terakhir
dihadiri Presiden Soeharto
dan Wakil Presiden Adam Malik,
Menteri Negara Lingkungan Hidup
Emil Salim
serta Menteri Perhubungan Azwar Anas
yang menjadi imam salat jenazahnya. Jenazahnya dibawa ke Masjid Agung dan
disalatkan lagi, dan kemudian akhirnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah
Kusir, Jakarta Selatan, dipimpin Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara.
POLITIK
Natsir,
Hamka, dan Isa Anshary
Sejak masih muda, Hamka telah terlibat
dalam aktivitas politik, yaitu ketika menjadi anggota Sarekat Islam
pada tahun 1925 dan, setelah kemerdekaan ia aktif dengan Partai Masyumi.
Pada pemilihan umum
1955, ia terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante mewakili Jawa Tengah.
Akan tetapi pengangkatan tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak
sesuai baginya. Atas desakan kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, akhirnya Hamka
menerima pengangkatan tersebut.
Di Konstituante, ia bersama Mohammad Natsir,
Mohammad Roem,
dan Isa Anshari
menjadi pihak yang paling konsisten memperjuangkan syariat Islam
menjadi dasar negara Indonesia. Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar dalam sila
pertama Pancasila dimasukkan kembali kalimat tentang "kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", sebagaimana yang termaktub
dalam Piagam Jakarta. Akan tetapi, pemikiran Hamka
ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, yang umumnya berasal
dari pihak komunis. Selanjutnya, dalam sidang Konstituante di Bandung
pada tahun 1957, ia menyampaikan pidato penolakannya atas gagasan Presiden
Soekarno yang akan menerapkan Demokrasi Terpimpin. Namun, segala usahanya itu
kandas setelah Soekarno membubarkan Dewan Konstituante melalui Dekrit Presiden
pada 5 Juli 1959 dan, perjalanan politik Hamka dapat dikatakan berakhir setelah
Masyumi ikut dibubarkan oleh Presiden Soekarno.
Sikapnya yang konsisten terhadap agama,
menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap
beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan
oleh Soekarno
dari tahun 1964
sampai 1966.
Pada awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi,
kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat di rumah
sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam penjara
ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah
terbesarnya.
Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai
ketua umum Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Semasa
jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan
pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan
tahun 1973,
dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani.
Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan
diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya. Akan tetapi,
pada tanggal 24 Juli
1981, Hamka memutuskan
untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena
fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
SASTRA
Hamka juga merupakan seorang wartawan,
penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan
beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang
Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah
Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932,
ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga
pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema
Islam.
Hamka adalah seorang otodidak dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi
dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang
tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah
seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan
Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis,
Inggris
dan Jerman
seperti Albert Camus,
William James,
Sigmund Freud,
Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx,
dan Pierre Loti.
Hamka juga banyak menghasilkan karya
ilmiah Islam dan karya lain seperti novel
dan cerpen.
Pada tahun 1928,
Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang
dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik
yang berbentuk roman,
sejarah, biografi
dan otobiografi,
sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi,
tasawuf,
tafsir,
dan fiqih.
Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara
novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga
menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia
dan Singapura.
Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional
maupun internasional.
Pada tahun 1959, Hamka mendapat
anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya
dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu.
Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia
memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang
kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
DAFTAR KARYA
1.
Kenang-Kenangan Hidup, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
2.
Ayahku (Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangannya),
Jakarta: Pustaka Wijaya, 1958.
3.
Khatib al-Ummah, 3 Jilid, Padang Panjang, 1925.
4.
Islam dan Adat, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
5.
Kepentingan Melakukan Tabligh, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1929.
6.
Majalah Tentera, 4 nomor, Makassar, 1932.
7.
Majalah al-Mahdi, 9 nomor, Makassar, 1932.
8.
Bohong di Dunia, cet. 1, Medan: Cerdas, 1939.
9.
Agama dan Perempuan, Medan: Cerdas, 1939.
10.
Pedoman Mubaligh Islam, cet. 1, Medan: Bukhandel Islamiah, 1941.
11.
Majalah Semangat Islam, 1943.
12.
Majalah Menara, Padang Panjang, 1946.
13.
Hikmat Isra’ Mi’raj, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
14.
Negara Islam, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
15.
Islam dan Demokrasi, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
16.
Revolusi Fikiran, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
17.
Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946 (tempat dan penerbit tidak diketahui),
18.
Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
19.
Revolusi Agama, Padang Panjang: Anwar Rasyid, 1946.
20.
Sesudah Naskah Renville, 1947 (tempat dan penerbit tidak diketahui).
21.
Tinjauan Islam Ir. Soekarno, Tebing Tinggi, 1949.
22.
Pribadi, 1950 (tempat dan
penerbit tidak diketahui).
23.
Falsafah Hidup, cet. 3, Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1950.
24.
Falsafah Ideologi Islam, Jakarta: Pustaka Wijaya, 1950.
25.
Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Keluarga, 1951.
26.
Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1952.
27.
K.H. A. Dahlan, Jakarta: Sinar Pujangga, 1952.
28.
Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad, cet. 3, Jakarta: Pustaka Islam, 1957.
29.
Pribadi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1959.
30.
Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
31.
Lembaga Hidup, cet. 6, Jakarta: Jayamurni, 1962 (kemudian dicetak ulang di Singapura
oleh Pustaka Nasional dalam dua kali cetakan, pada tahun 1995 dan 1999).
32.
1001 Tanya Jawab tentang Islam, Jakarta: CV. Hikmat, 1962.
33.
Cemburu, Jakarta: Firma Tekad,
1962.
34.
Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962.
35.
Ekspansi Ideologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
36.
Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1965 (awalnya merupakan naskah yang disampakannya pada
orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas
al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958).
37.
Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
38.
Lembaga Hikmat, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1966.
39.
Dari Lembah Cita-Cita, cet. 4, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
40.
Hak-Hak Azasi Manusia Dipandang dari Segi
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
41.
Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di
Minangkabau, Padang: Minang Permai, 1969.
42.
Hubungan antara Agama dengan Negara
menurut Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1970.
43.
Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, Jakarta: Pusat dakwah Islam Indonesia, 1971.
44.
Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
45.
Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
46.
Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di
Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
47.
Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973.
48.
Muhammadiyah di Minangkabau, Jakarta: Nurul Islam, 1974.
49.
Tanya Jawab Islam, Jilid I dan II cet. 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
50.
Studi Islam, Aqidah, Syari’ah, Ibadah, Jakarta: Yayasan Nurul Iman, 1976.
51.
Perkembangan Kebatinan di Indonesia, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976.
52.
Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1980.
53.
Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
54.
Kebudayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.
55.
Lembaga Budi, cet. 7, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
56.
Tasawuf Modern, cet. 9, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
57.
Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan
dan Keberanian, Jakarta: Yayasan Idayu, 1983.
58.
Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan
Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
59.
Iman dan Amal Shaleh, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
60.
Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
61.
Filsafat Ketuhanan, cet. 2, Surabaya: Karunia, 1985.
62.
Keadilan Sosial dalam Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1985.
63.
Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
64.
Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah
Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
65.
Tuntunan Puasa, Tarawih, dan Idul Fitri, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1995.
66.
Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Jakarta: Tekad, 1963.
67.
Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
68.
Mengembara di Lembah Nil, Jakarta: NV. Gapura, 1951.
69.
Di Tepi Sungai Dajlah, Jakarta: Tintamas, 1953.
70.
Mandi Cahaya di Tanah Suci, Jakarta: Tintamas, 1953.
71.
Empat Bulan di Amerika, 2 Jilid, Jakarta: Tintamas, 1954.
72.
Merantau ke Deli, cet. 7, Jakarta: Bulan Bintang, 1977 (ditulis pada tahun 1939).
73.
Si Sabariah (roman dalam bahasa Minangkabau), Padang Panjang: 1926.
74.
Laila Majnun, Jakarta: Balai Pustaka, 1932.
75.
Salahnya Sendiri, Medan: Cerdas, 1939.
76.
Keadilan Ilahi, Medan: Cerdas, 1940.
77.
Angkatan Baru, Medan: Cerdas, 1949.
78.
Cahaya Baru, Jakarta: Pustaka Nasional, 1950.
79.
Menunggu Beduk Berbunyi, Jakarta: Firma Pustaka Antara, 1950.
80.
Terusir, Jakarta: Firma Pustaka
Antara, 1950.
81.
Di Dalam Lembah Kehidupan (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka, 1958.
83.
Tuan Direktur, Jakarta: Jayamurni, 1961.
84.
Dijemput Mamaknya, cet. 3, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
85.
Cermin Kehidupan, Jakarta: Mega Bookstrore, 1962.
87.
Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq), Medan: Pustaka Nasional, 1929.
88.
Ringkasan Tarikh Ummat Islam, Medan: Pustaka Nasional,1929.
89.
Sejarah Islam di Sumatera, Medan: Pustaka Nasional, 1950.
90.
Dari Perbendaharaan Lama, Medan: M. Arbi, 1963.
91.
Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, cet. 1, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
92.
Sejarah Umat Islam, 4 Jilid, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
93.
Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim Amrullah), Jakarta: Pustaka Panjimas,
1984.
- MATERI DAKWAH
Dalam membicarakan masalah
materi dakwah, tampaknya Hamka mengungkapkan pendapatnya, bahwa secara
keseluruhan terdapat lima perkara yaitu :
a. Akidah
Islamiyah. Yaitu pokok-pokok kepercayaan Islam (rukun iman) yang diambil dari
al-Qur'an al-karim.
b. Risalah Nabi
Muhammad saw dan Rasul-Rasul Allah terdahulu yang kedatangannya adalah untuk
memperkenalkan tauhid Uluhiyah dan tauhid Rububiyah.
c. Sunnah Rasul
yang meliputi budi pekerti dan pelaksanaan ibadah salat, puasa, zakat, serta
haji.
d. Sejarah
hidup Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya.
e. Kepribadian
muslim yakni suatu kepribadian yang memupuk dan menyebarkan keadilan sosial
secara merata, keadilan hukum sesama manusia, persamaan kemerdekaan, dan saling
tolong menolong dalam kebaikan (Hamka, 1990 : 233-240)
Kelima pokok utama dakwah
tersebut, dalam pandangan Hamka, juga merupakan tahapan-tahapan yang harus
diperhatikan dalam penyajian materi dakwah pada masyarakat (Hamka, 1990: 240).
Namun demikian, ia tidak menjelaskan tentang bagaimana pemilihan materi dakwah
yang baik apabila masyarakat yang dihadapi bersifat majemuk. Sehubungan dengan
itu M. Syafaat Habib menyatakan bahwa ada empat hal yang perlu diperhatikan
dalam pemilihan materi dakwah yakni:
a. Hendaknya
materi itu bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadis.
b. Hendaknya
materi itu mampu memberikan pelayanan kemasyarakatan yang sesuai dengan
kemampuan penerimanya.
c. Hendaknya
materi itu berfokus pada hidup kehidupan manusia, pembentukan watak untuk
kebahagiaannya di dunia dan di akhirat
d. Hendaknya
materi itu mampu memberikan tuntunan keselarasan, keseimbangan dan keserasian
hidup (M. Syafaat Habib, 1981: 101).
Pandangan di atas menunjukkan
bahwa materi dakwah yang akan dikomunikasikan sangat luas cakupannya.
- OBJEK DAKWAH
Menurut Hamka bahwa obyek
dakwah adalah seluruh umat manusia. Yaitu manusia yang terdapat dalam segala
sektor kehidupan, seperti pertanian, perniagaan, pekerjaan tangan, perburuhan
dan pegawai. Masyarakat kampung dan kota, kaum terpelajar dan tidak terpelajar,
jenis laki-laki dan wanita, usia muda dan tua (Hamka, 1990:233).
Pandangan di atas dapat
dilihat dalam QS. Saba (34):28 yang ditafsirkan Hamka dengan "Tidaklah
kami utus engkau melainkan merata untuk seluruh manusia. Maka segala manusia
yang mendiami permukaan bumi ini adalah jadi tujuan dari dakwah Nabi Muhammad
saw dengan tidak memandang batas daerah, tidak memandang warna kulit".
(Hamka, juz 21, 1983: 166). Demikian pula QS. al- A'raf (7): 158; al-
Anbiya (21): 107, Hamka menyatakan bahwa " ayat-ayat tersebut memberikan
pedoman bagi setiap umat Muhammad bahwa agama yang mereka peluk ini adalah
untuk seisi dunia, bukan untuk orang Arab saja. Tidak terbatas untuk generasi
tertentu. Dan agama ini adalah membawa rahmat bukan membawa bala bencana
(Hamka, 1990 : 233)
Lebih lanjut, Hamka membagi
obyek dakwah yang didasarkan pada agama dalam dua skala makro, yakni
kelompok Muslim dan non-Muslim. Hal ini sejalan dengan pemikirannya tentang
pembagian dakwah kepada yang umum dan yang khusus (Hamka, juz 3, 1983 : 30)
Menurutnya dakwah yang umum
terbagi dua, yakni: 1) Dakwah kepada umat Islam sendiri supaya memegang agama
dengan betul dan beragama dengan kesadaran, dan 2) Dakwah kepada orang lain
(non muslim) yang bertujuan untuk menjelaskan kemurnian agama keluar dan
bersifat mengajak mereka supaya turut memahami hikmat ajaran Islam dan
kadang-kadang bersifat menangkis serangan atau pandangan negatif terhadap
Islam. Sedang dakwah yang khusus adalah dakwah yang dilakukan seorang Muslim di
kalangan keluarganya sendiri (Hamka, juz 3, 1983 : 31)
BAB II
PENUUTUP
Kesimpulan
Pada akhir uraian ini,
dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Dakwah dalam
prespektif Hamka adalah amar ma'ruf nahi munkar. Hukumnya wajib dilaksanakan
oleh uamat manusia, tetapi sifatnya dalam pandangan Hamka yakni; satu sisi ia
menyatakan fard kifayah dan pada sisi lain menyatakan fard 'ayn bagi diri
sendiri sesuai kemampuan.
2. Materi
dakwah adalah semua ajaran Islam yang tercantum dalam al-Qur'an dan al-Hadis.
Adapun obyeknya adalah semua umat manusia.
3. Tujuan
dakwah identik dengan tujuan hidup manusia, yakni untuk memperoleh kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat. �
DAFTAR
PUSTAKA
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam (2002).
"Ensiklopedia Islam, Jilid 4". Departemen Agama (Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve). ISBN
979-8276-65-5.
Shobahussurur (2008). Mengenang 100 tahun Haji
Abdul Malik Karim Amrullah Hamka. Jakarta: Yayasan Pesantren Islam
Al-Azhar. ISBN
979-177-850-7.
Herry, Mohammad (2006). Tokoh-tokoh Islam yang
Berpengaruh Abad 20. Gema Insani. ISBN
979-560-219-5.
Hashim, Rosnani (2010). Reclaiming the
Conversation: Islamic Intellectual Tradition in the Malay Archipelago. The
Other Press. ISBN
983-954-174-9.
"Cukup
Allah sebagai Pelindung: Kisah Hamka di Penjara Sukabumi". Republika. 26 November 2011. Diakses 20
Desember 2011.
Daneel, Inus; Charles Van Engen, Hendrik Vroom (2005).
Fullness of Life for All—Challenges for Mission in Early 21st Century.
Rodopi. ISBN
904-201-971-9.
Rodgers, Susan (1995). Telling Lives, Telling
History: Autobiography and Historical Imagination in Modern Indonesia.
University of California Press. ISBN
052-008-547-7.
Zakariya, H. (2006). Islamic Reform in Colonial
Malaya: Shaykh Tahir Jalaluddin and Sayyid Shaykh Al-Hadi. ProQuest. ISBN
054-286-357-X.
Abdurrahman, M. (2009). Bersujud di Baitullah.
Penerbit Buku Kompas. ISBN
979-709-437-5.
Riddell, P. G. Islam and the Malay-Indonesian
World: Transmission and Responses. C. Hurst & Co. Publishers. ISBN
185-065-336-4.
Hamka, Afif (2008). Buya
Hamka. Uhamka Press. ISBN
602-804-007-X.
Pandoe, M.D.; Pour, Julius (2010). Jernih
Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas.
Penerbit Buku Kompas. ISBN
979-709-487-1.
Panitia Peringatan Buku 70 Tahun Buya Prof. Dr. Hamka
(1983). Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Pustaka Panjimas.
Hamka (1966). Kenang-kenangan Hidup. Kuala
Lumpur: Pustaka Antara.
Hamka, Rusydi (1983). Pribadi dan Martabat Buya
Prof. Hamka. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Tamara, Natsir (1996). Hamka di Mata Hati Umat.
Jakarta: Sinar Harapan.
Noer, Deliar (1996). Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Noer, Deliar (2001). Membincangkan Tokoh-tokoh
Bangsa. Bandung: Mizan.
Mahayana,
Maman S; Oyon Sofyan dan Achmad Dian (1995). Ringkasan dan Ulasan Novel
Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo. ISBN 978-979-553-123-4.
Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastera Indonesia
1. Jakarta: Akademi Sastera dan Bahasa "Multatuli". OCLC 63841626.
Rahzen, Taufik (2007). Tanah Air Bahasa: Seratus
Jejak Pers Indonesia. Blora Institute. ISBN
979-150-938-7.
Safrudin, Irfan (2008). Ulama-ulama Perintis:
Biografi Pemikiran dan Keteladanan. Bandung: Majelis Ulama Indonesia.
Reid; Marr, David G. (1983). Dari Raja Ali Haji
hingga Hamka. Grafiti Pres.
Yusuf, M. Yunan (2003). Corak Pemikiran Kalam
Tafsir al-Azhar. Penamadani. ISBN
979-976-700-8.
Azra, Azyumardi (2002). Historiografi Islam
Kontemporer. Gramedia Pustaka Utama.
Abidin, Masoed. Ensiklopedi Minangkabau.
Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. ISBN
979-379-723-1.
Hakim, Ahmad; Thalhah, M. (2005). Politik Bermoral
Agama. UII Press. ISBN
979-333-306-5.
Rosidi, Ajip (2008). Yang Datang Telanjang:
Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang, 1980–2002. Kepustakaan Populer
Gramedia. ISBN
979-910-095-X.
Al-Kumayi, Sulaiman (2004). Kearifan Spiritual dari
Hamka ke Aa Gym. Pustaka Nuun. ISBN
979-983-531-3.
"Palagan
Hamka dan Lentera "Pram"". Kompas. Jakarta. 2012-03-20. Diakses 12
Juni 2012.
"Hamka
Menggebrak Tradisi". Tempo.
Jakarta. 2008-05-19. Diarsipkan dari aslinya
tanggal 4 Juni 2012. Diakses 4 Juni 2012.
Hamka, Irfan (2013). Ayah...
Kisah Buya Hamka. Penerbit Republika. ISBN
978-602-8997-71-3.
Departemen Agama RI. Al-Qur'an
dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1994.
Habib, M. Syafaat. Buku
Pedoman Dakwah. Jakarta: Wijaya, 1981.
Hamka. Prinsip dan
Kebijaksanaan Dakwah Islam. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990.
---------. Tafsir al-Azhar.
Juz. 3. 4. 21. 24. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983.
Hasjmy, A. Dustur Dakwah
menurut al-Qur'an. Jakarta: Bulan Binatang, 1974.
Mahfudz, Syakh Ali. Hidayat
al-Murshidin. Kairo: Dar al-Kutub al-Arabi, 1952.
Maraghi, Ahmad Mustafa.
Tafsir al- Maraghi, Juz 4 : Kairo: mustafa al-Halabi wa Awladuh, 1963.
Nasution, Harun. Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid. I. Jakarta: UI-Press, 1985.
----------. Pembaharuan
dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: UI-Press, 1992.
Noer, Deliar. Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: L.P3ES, 1980.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir
al- Manar, Juz 4. kairo: al-Maktabah al-Qahirah, t.t.
Sanusi, Salahuddin.
Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Dakwah Islam. Semarang: CV. Ramadhani,
1964.
Shaleh, Abd. Rosyad. Manajemen
Da'wah Islam. Jakarta: bulan Bintang, 1977.
Siddiq, Syamsuri. Dakwah
dan Tehnik Berkhutbah. Bandung: PT. al-Ma'arif, 1987.