Sabtu, 15 November 2014

FILSAFAT DAKWAH

BAB 1
PENDAHULUAN

I.                   Latar Belakang
II.                Rumusan Masalah
III.             Tujuan Penulisan

BAB II
PEMBAHASAN

I.                    Mad’u sebagai Sentral Dakwah
Salah satu sasaran utama yang hendak dicapai melalui dakwah adalah pemberdayaan masyarakat menuju lahirnya suatu komunitas atau masyarakat yang disebut oleh Al-Qur’an dengan predikat khaira ummah, the best ummah (QS. Ali Imran/3:110), bukan hanya dari aspek keimanan dan ibadah semata, melainkan juga dari aspek-aspek sosial, seperti ekonomi, pendidikan, , hukum, iptek dan sosial budaya. Kalau demikian, maka kepentingan dakwah itu berpusat kepada apa yang dibutuhkan oleh komunitas atau masyarakat (mad’u), dan bukan kepada apayang dikehendaki oleh pelaku dakwah (da’i). Tegasnya, dakwah mesti berorientasa kepada kepentingan mad’u (mad’u centre preaching), dan tidak kepada kepentingan da’i (da’i centre preaching).
Dengan paradima baru ini, dai perlu mengertitentang aspek-aspek yang menjadi kebutuhan (kepentingan) mad’u dalam suatu komunitas, termasuk dengan tingkat intelektual mereka, kondisi psikologis, serta problematika yang melingkupi kehidupan masyarakat ditempat dan zaman mereka. berada. Aspek inilah yang membedakan dakwah dari semata-mata tabligh. Dakwah selain bermakna tabligh, yaitu kegiatan penyampaian dan penerangan agama, ia juga bermakna perubahan dan transformasi sosial. Dan kultural melalui rekayasa sosial (social enginering) yang intens. Sementara perubahan dan transformasi sosial ini tidak dapat berlangsung, tanpa memerhatikan kondisi objektif sasaran dakwah (mad’u) dalam semua aspeknya.
Dalam al-Qur’an, keharusan menjadikan mad’u sebagai sentral dakwah diisyaratkan sebagai suatu srtategi menjelaskan pesan-pesan agama. Al-Qur’an menggunakan redaksi al lisan, sebagai suatu simbol yang mengacu kepada aspek kemanusiaan (humanitas) mad’u. Allah SWT berfirman :
“Dan kami tidak mengutus seorang Rasul pun kecuali dengan lisan kaumnya agar ia menjelaskan (agama) kepada mereka..........” (QS. Ibrahim/14:4)
            Kebanyakn mufasir, baik klasik maupun kontemporer, memang mengartikan kata al-lisan sebagai bahasa (al-lughah). Namun demikian, pemahaman ini dapat didefinisikan lebih luas lagi. pakar tafsir, Abdullah Yusuf Ali misalnya, menegaskan bahwa terjemahan kata al-lisan (language) ini memiliki implikasi yang luas. Katanya, pengertian lisan itu tidak melulu harus diartikan sebatas kata-kata, huruf atau abjad sebagai materi inti bahasa. Lebih dar itu, lisan disini menyangkut problematika kehidupan pada suatu masa (each age people or word), keenderungan psikologi mereka (phsycological sense), da tingkat pemikirannya (the thought). Menurut Yusuf Ali, informasi al-Qur’an ini boleh dibilang pandangan yang sangat maju dan amat manusiawi. Dakwah al-Qur’an, lanjut Ali, dalam hal ini kelihatan sekali menitik beratkan kepada kapasitas (capacity) dan penerimaan (receptivity) mad’unya.
            Penafsiran kenamaan Indonesia, M. Quraish Shihab, juga merasa perlu memberikan penjabaran lebih luas soal makna kata al-lisan. Katanya, al-lisan memang diartikan bahasa, namun pemaknaan ini merupakan simbol dari arti yang lebih luas, yaitu pandangan hidup (pemikiran), psikologi, danproblematika sosial. Demikian itu, karena bahasa selain berfungsi sebagai alat komunikasi, juga merupakan cerminan pemikiran dan pandangan pengguna bahasa itu. dengan mengutip filsuf kontemporer Zaki Nagib Mahfuz, Shihab mengemukakan bahwa bahasa menggambarkan keyakinan metafisika serta unsur-unsur kejadian alam yang dianut oleh bangsa-bangsa penggunanya.
Untuk memosisikan mad’u sebagai sental dakwah, maka tiga hal berikut perlu diperhatikan,
Pertama, dakwah perlu memerhatikan kapasitas pemikiran (tingkat intelektual) suatu masyarakat. Dakwah bertujuan menyampaikan pesan agama seluas-luasnya kepada umat manusia. Sementara dilain pihak, tingkat pemahaman suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lainnya pasti berbeda. Perbedaan tingkat pemahaman itu ditentukan oleh banyak variabel, di antaranya tingkat kemajuan budaya dan peradaban masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang masih sederhana dan bersahaja, memiliki kecenderungan memahami sesuatu secara mudah (simplifikasi) dan apa adanya. Hal ini taentunya berbeda dengan masyarakat dengan tingkat budaya dan peradaban yang lebih maju. Dengan tingkat intelektual yang lebih tinggi, masyarakat yang berkebudayaan cenderung memahami agama secara lebih kompleks.
            Di sisi lain, agama memiliki watak universal; ia diturunkan sebagai petunjuk bagi semua kelompok masyarakat, baik yang sederhana maupun yang sudah berperadaban. Karena itu, dakwah harus berwatak fleksibel, maksudnya dakwah harus mampu mengakomodasi tingkat pengetahuan atau intelektuak umat manusia dimana saja. Bagi masyarakat yang masih sederhana, fokus utama dakwah terutama bagaimana mengembangkan potendsi keadaban dan humanitas mereka. contoh yang konkret dalam hal ini adalah dakwa Rasululloh terhadap masyarakaat Arab. Adapun bagi masyarakat yang sudah maju, fokus utama dakwah adalah mengarahkan kemajuan dan keadaban itu agar selaras dan tetap berpijak pada nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Arahan dan pencerahan agama dapat dilakukan dengan menjadikan nilai-nilai agama sebagai etika universal yang harus dipedomani oleh para pemimpin dalam melakukan pembangunan dalam segala segi kehidupan.    
            Kedua, dakwah harus memerhatikan kondisi kejiwaan (suasana psikologis) suatu masyarakat. Kondisi kejiwaan suatu masyarakat memiliki kolerasi erat dengan setiap kejadian atau peristiwa yang dialami, baik yang terkait dengan kondisi alam maupu sosial. Dampak dari suatu peristiwa tersebut akan terakumulatif dalam tempo yang relatif lama dan membentuk suasana psikologis tersendiri yang mencirikan kekhasan suatu kelompok masyarakat. Sementara itu, peristiwa dan kejadian yang dialami oleh suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya adalah berlainan. Karena itu, dipandang dari sudut suasana kejiwaannya, maka setiap kelompok masyarakat boleh dibilang masing-masing adalah unik, sehingga dakwah yang manusiawi dan sekaligus komunikatif, adalah dakwah yang dapat memahami keunikan psikologis setiap umat, dan mencarikan jalan keluar yang tepat dan sesuai dengan suasana kebatinan mereka dalam dimensi ruang dan waktu.
Dalam kondisi demikian, mana pemilahan dan penyeusaian materi dakwah menjadi hal urgen yang perlu dipikirkan dan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Secara teknis, penyesuaian materi dakwah terkait dengan kondisi psikologi suatu umat tidak melulu dilihat dari  sisi benar atau tidak benar,  tetapi perlu juga dilihat dari sisi tepat atau tidak tepat. Suatu materi dakwah boleh dibilang benar dan tepat untuk kondisi masyarakat tertentu, tetapi belum tentu tepat untuk disampaikan pada masyarakat yang lain. Oleh sebab itu, selain materi, pilihan metode yang tepat, juga berperan dalam menentukan keberhasilan dakwah. Malahan boleh jadi, materi yang benar, namun disampiakan pada situasi dan kondisi yang tidak tepat, justru malah menimbulkan fitnah. Maka disini penting diingat, adagium Arab yang menyatakan “Al tariqah ahammu min al maddah/ metode itu lebih penting dari materi itu sendiri.”
            Ketiga, dakwah perlu memerhatikan problematika kesenian yang dihadapi oleh suatu masyarakat. Risalah Islam diturunkan dengan kepentingan merespons masalh-masalah umat manusia dan membantu mencarikan jalan keluar dengan mengarahkan manusia melalui bimbingan agar lebih berpihak kepada muatan nila-nila moral dan ketuhanan. Karena itu, dalampelaksanaannya, dakwah haruslah berwatak komunikatif dan interaktif. Komunikatif, berarti bahwa dakwah harus memahami dan merespons setiap problematika umat. Doktrin universalisme Islam menghendaki bahwa islam harus turut berbicara tentang banyak hal yang menyangkut aspek kehidupan manusia.karena itu, dakwah tidak boleh bungkam ketika dihadapkan kepada persoalan-persoalan kemanusiaan mutakhir yang semakin kompleks. Dakwah dituntut dapat memberikan pandangannya tentang persoalan-persoalan ini melalui paradigma moralitas dan nila-nila ilahiah yang dimilikinya. Interaktif, berarti dakwah harus mampu berdialog dengan berbagai pihak dan kelompok kepentingan dalam rangka mencari solusi kreatif dan inovatif dalam memecahkan berbagai problem sosial yang dihadapi oleh umat, termasuk didalamnya ikut menciptakan mindset baru dan seperangkat alat (tools) untuk membawa umat menuju perubahan dan kemajuan yang diharapkan.
            Sejalan dengan logika diatas, dakwah mesti berwatak kekinian dan kedisinian (al-waqi’iyyah). Problematika yang dihadapi umat yang satu dan lainnya, atau problematika umat terdahulu dan sekarang sudah pasti berbeda, sehingga menuntut solusi yang berbeda pula. Karena itu, dakwah yang manusiawi harus menjauhi unsur pemaksaan. Alternatif solusi  untuk suatu umat terdahulu, tidak boleh dipaksakan terhadap umat yang belakangan, sebagaimana solusi umat pada iklim sosial tertentu tidak diperkenankan terhadap iklim yang berbeda. Dakwah dengan demikian, dituntut untuk selalu inovatif dan kreatif menjawab tantangan zaman dan perubahan sosial. Termasuk kedalam pengertian mad’u sebagai sentral dakwah, adalah usaha dakwah yang dinamis dan progresif. Bentuk konkret dari usaha dinamis dan proggresif adalah  ijtihad, selalu berusaha mencari solusi dan jalan keluar dari problem-problem mutakhir yang dihadapi umat dengan logika baru (al-‘aql al-jadid).
            Gagasan dakwah yang menempatkan mad’u sebagai sentral, menghendaki strategi  dakwah yang empatik, simpati, dan humanistik sekaligus. Empati dan simpati dalam dakwah menghendaki sikap yang mengandaikan dai dalam posisi mad’u. Adapun dakwah humanis menghendaki pengakuan terhadap sisi kemanusiaan mad’u secara utuh, baik pemikirannya, kejiwaannya, maupun problematikanya. Pengabaian terhadap aspek-aspek tersebut, hampir dapat dipastikan, menjadikan dakwah kurang efektif, untuk tidak mengatakansuatu kemubaziran, lantaran tidak dibutuhkan mad’u karena tidak membawa manfaat apapun. Dakwah semacam ini, bukannya membawa kemajuan, malahan pada tingkatan tertentu bisa membawa kerugian. Nabi memperingatkan hal tersebut dalam haditsnya : “ ma anta bi muhaditsin qauman haditsan la tablughuhu ‘uquluhum illa kana liba’dihim fitnah/ tidaklah kamu berbicara tentang suatu ucapan kepada suatu kaum yang tidak sesua dengan pemahaman mereka, kecuali akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.....

II.                 Hak-hak Mad’u

Sejalan dan konsisten dengan pernyataan semula, bahwa dengan karakteristiknya yang egalitarian, dalam praktiknya dakwah islam itu condong kepada prinsip humanisme. Jika logika ini ditarik lebih jauh kemudian dikaitkan dengan hak-hak mad’u, maka sesungguhnya ia bukanlah hal yang lain dari hak-hak manusia.[1] Persoalan ini dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu hak hubungan sosial antar pribadi (interpersonal relationship right) dan hak hubungan antar-keterkaitan komunikasi (communication interconecting right). Hak manusia dalam tinjauan aspek yang pertama, menekankan kecakapan kualitas pribadi seseorang dalam membangun pola hubungan antarpersonal yang nyaman (confortable) dan penuh keakraban (friendliness/arab: al-firq). Adapun hak dalam tinjauan aspek yang kedu, menekankan pola hubungan ketergantungan (dependention) dan saling respons serta saling pengertian (reponsible and understanding).
Dalam teori ilmu sosial dijelaskan, kelanggengan suatu hubungan natural dalam masyarakat itu terkait dalam suatu kontrak tak tertulis. Dalam pada itu, ketika suatu hubungan sosial telah terjalin, saat itu pula kontrak ini disepakati atas dasar ketulusan komitmen masing-masing pihak sebagai suatu konsekuensi logis darinya. Melalui komitmen ini, kemudian lahir hak dan kewajiban masing-masing pihak yang secara dinamis dan proporsional harus didistribusikan sebagai prasyarat tercinptanya suatu kondisi hubungan sosial yang nyaman dan mendukung. Ketimpangan yang disebabkan oleh macetnya distribusi hak dan kewajiban kepada masing-masing secara proposional akan menimbulkan gesekan-gesekan dalam hubungan yang kemudian akan berlanjut pada ketidaknyamanan transaksi sosial. Kondisi demikian itu memang tidak langsung terlihat dampaknya, namun efek bola saljunya, secara akumulatif dapat melahirkan kesalah pahaman dan keretakan hubungan bahkan percekcokkan yang berkepanjangan. Kondisi demikian ini, tentunya tidak sejalan dengan logika komunikasa dan akselerasi dakwah.
Hubungan sehat antarpersonal, juga ditentukan oleh sejauh mana masing-masing pihak mampu menciptakan situasi pergaulan yang akrab dan hangat. Untuk tujuan itu, segala atribut penghalang yang menjadi jarak pemisah antara kedua belah pihak harus terlebih dahulu disingkirkan untuk kemudian dijalin sebuah komunikasi terbuka dalam suatu hubungan kesetaraan tanpa unsur hierarkis. Hal demikian ini terbilang amat perlu karena pertimbangan beberapa hal.
Pertama, secara psikologis orang hanya mau membuka diri (ofensif) kepada pihak yang benar-benar ia kenal dan tahu latar belakangkya.
Kedua, ketiadaan jarak antar hubungan memungkinkan tumbuhnya selera untuk menjalin keakraban atau kedekatan dalam pergaulan.
Ketiga, dari sikap empatis dan simpatik. Di sisi lain, sikap serupa itu hanya mungkin ditumbuhkan dalam pandangan kesetaraan hubungan yang mampu menempatkan diri pribadi pada posisi orang lain secara timbal balik.
            Dalam prinsip komunikasi juga dikenal kaidah hubungan ketergantungan yang menegaskan bahwa pda dasarnya manusia memiliki hak untuk didengar, tetapi disisi lain ia juga memiliki kewajiban untuk mendengarkan orang lain. Keberlangsungan komunikasi dalam kaitan ini ditentukan oleh sejauh mana kedua belah pihak mampu menenggang dan memberi peluang orang lain untuk pula mendapatkan haknya. Demikian itu, karena pada dasarnya komunikasi berlangsung dalam suatu pola ketergantungan antar partisipasi dan pengertian. Tanpa adanya kesadaran serupa itu, dapat dipastikan hubungan komunikasi akan berakhir, dan itu merupakan sebuah kegagalan dalam proses komunikasi.
            Terkait dengan persoalan hak-hak mad’u, maka apa  yang dijelaskan melalui teori sosial tentang keharusan hubungan yang kondusif  sebagai syarat keberlangsungan sebuah kontrak sosial, sangat relevan dengan praktik dakwah Nabi dengan membentuk piagam tertulis Madinah yang menjadi asas dalam pembentukkan masyarakat sipil melalui sebuah kontrak sosial yang mengikat semua golongan. Didalamnya ditegaskan, secara adil hak-hak mad’u yang terdiri dari kelompok nonmuslim ahlulkitab dan kaum pagan Madinah. Melalui kontrak sosial itu, mereka memperoleh pengakuan hak-hak asasi mereka selaku manusia sepert kebebasan untuk berkeyakinan dan berpegan pada keyakinannya itu, bahwa hak-hak mereka diakui untuk menuntut kerugian akibat perlakuan yang tidak baik pada mereka dan juga hak-hak sosial lainnya seperti yang dimiliki oleh pihak muslim. Sebagai gantinya, mereka juga diharuskan untuk mematuhi beberapa ketentuan yang juga merupakan kewajiban bagi kaum muslim.
            Penjelasan ini akhirnya memberi pemahaman bahwa hak pertama yang mesti diingat terkait dengan dakwah adalah hak-hak asasi manusia pada umumnya. Pengakuan terhadaphak asasi ini adalah akses menuju hubungan sosial yang kondusif serta membuka peluang terciptanya kebebasan dam menyampaikan dakwah itu sendiri. Dalam perspektif dakwah, pengakuan hak asasi ini berarti memberi kebebasan kepada mad’u untuk menerima atau menolak dakwah sesuai prinsip kebebasan agama yang diajarkan oleh islam. Tanpa adanya pengakuan serupa itu, hubungan yang harmonis dan kondusif tak akan pernah terwujud, dan dalam keadaan demikian, dakwah boleh jadi akan dinilai sebagai ancaman dan propaganda, bukan pencerahan dan bimbingan yang akan mengantar manusia menuju puncak-puncak kemuliaam dan keagungannya.
            Sebagai pihak yang lebih aktif, da’i harus mengerti bahwa mad’u memiliki hak untuk didatangi, didekati dan kemudian diakrabi dengan cara-cara yang persuasif.[2] Dan mad’u juga memiliki hak untuk dipahami sacara empati dan simpati menjadi suatu kemestian yang mutlak. Tujuan yang ingin dicapai dari penunaian hak ini adalah menjaga “suasana kejiwaan” mad’u  agar tetap betah berada dalam ruang proses komunikasi dakwah untuk tempo yang cukup panjang. Sebab bagaimanapun, efek dakwah tidak mungkin muncul hanya dalam sekali atau beberapa kali komunikasi. Disamping itu, efek yang diharapkan, dengan sendirinya, membutuhkan akumulasi pesan-pesan atau nilai dakwah agar mampu membentuk dan melahirkan pengaruh yang lebih kukuh dan permanen. Untuk itu, da’i dituntut untuk mampu menjaga gengsi dan harga diri mad’u, serta dilarang keras berkata-kata yang dapat melukai hati atau merendahkan diri mereka yang dapat menghilangkan selera atau bahkan keberlangsungan (contunuity) untuk berkomunikasi.[3]
 

III.              Klasifikasi Mad’u
Sebut saja, dakwah adalah adalah proses menyosialisasikan dan mewujudkan kebenaran, maka klasifikasi mad’u merupakan sebuah proses pengidentifikaasian perkelompok manusia dalam menerima kebenaran itu. bukan bermaksud memetak-metak kelompok. Lebih dari itu, hal ini bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang karakter-karakter yang khas dimiliki oleh suatu kelompok mad’u tertentu yang tidak terdapat pada lainnya. Juga berguna untuk menentukan kebijakan dakwah tentang bagaimana cara mensikapi dan berinteraksi dengan masing-masing kelompok manusia tertentu.
Kalsifikasi mad’u digolongkan menurut empat kategori. Yaitu :

1.                   Klasifikasi Mad’u Menurut Sikapnya Terhadap Dakwah
Pakar dakwah Abdul Karim Zaidan dalam buku ushul al-Dakwah, mengelompokkan manusia dalam empat  kategori berdasarkan sikapnya terhadap dakwah, yaitu:

a.                   Al Mala’
Dalam al- Qur’an, terminologi al-mala’ digunakan untuk arti kelompok sosial yang berstatus sebagai pemuka masyarakat (asyraf al qaum), pemimpim masyarakat (ru’usahum), atau yang memiliki wewenang atas masyarakat (sadatuhum). Pakar al-Qur’an al-Ashfahany menerjemahkan istilah al mala’ sebagai suatu kelompok orang yang memiliki pengaruh atas pandangan umum baik lantaran kewibawaannya maupun kebesaran namanya. Al-Qur’an cenderung menggunakan kata al mala’ dalam pengertian pemimpin kaum atau yang serupa dengannya seperti dijelaskan tadi.
            Berbeda dengan penjelasan tentang sisi posotif dari pengertian al mala’ sepert dijelaskan tadi, dalam banyak koteks dakwah Nabi-nabi, kata ini dikaitkan dengan kelompok orang yang menentang seruan dakwah. Dalam kasus Nabi Nuh misalnya, para pemuka kaum ketika itu menyetarakan antara seruan dakwahnya dan sebuah ajaran yang menyesatkan (al-dalal al-mubin).[4]
Disamping penolakan dan penentangannya terhadap dakawah, al-Qur’an secara objektif juga menggambarkan perihal kesetiaan kelompok al mala’ ini terhadap dakwah para nabi walaupun dengan sikap yang setengah hati. Dari pemaparan tentang karakteristik kelompok mad’u ini dalam kaitan sikapnya terhadap kebenaran dakwah, diperoleh pemahaman sebagai berikut :
Pertama, kelompok al mala’ adalah kaum eksekutif masyarakat yang memiliki pengaruh besar, bila mana mereka beriman, bagi kesuksesan dakwah. Hal demikian, karena kemampuan mereka untuk mengakomodasi massa dan pengaruhnya dalam membentuk opini-opini publik. Masuk dalam kelompok ini adalah pemuka politik (al-zu’ama) dan pemuka agama (al-ruhaba).
Kedua, karena posisinya yang istimewa, kelompok mad’u ini cenderung subjektif dan dipengaruhi oleh rasa gengsi yang teramat tinggi. Inilah sisi negatif kelompok mad’u yang satu ini (al mala’) seperti diungkap literatur-literatur dakwah.
Ketiga, kelompok ini merupakan panutan dan sumber rujukan orang banyak. Atas dasar ini, maka kekuatan dan pengaruh mereka bisa digunakan untuk memperluas jangkauan dakwah.
Keempat, sikap represif, kooperatif atau setengah hati kelompok al mala’, sangat terkait dengan kepentingan-kepentingan subjektif dan hubungan mereka dengan da’i. Demikian itu, karena mereka adalah kelompok yang mempertahankan status quo dalam masyarakat. Ketika kebenaran dakwah dinilai sebagai suatu hal yang sekunder dan komplementer, maka sikapnya akan menjadi setengah hati seperti yang terjadi pasa pemuka Bani Israil. Mereka juga akan menyambut dakwah dengan penuh antusias dan kooperatif jika dirasa kebenaran dakwah itu dapat mengukuh statusnya dan menunjang kepentingannya.

b.                  Jumhur al-Nas
Dilihat dari segi, jumhur al-nas, berarti kelompok mayoritas, merupakan kelompok terbesar dalam masyarakat. Dalam bahasa Indonesia, term jumhur al-nas, setara dengan rakyat jelata. Dilihat dari denah pemetaan sosial, walau sebagai mayoritas, mereka adalah orang-orang yang selalu berada dibawah kewenangan kaum penguasa (al mala’). Bagi Abdul Karim Zaidan, diantara banyak kategori mad’u., jumhur al-nas, kelompok yang kemudian disebut sebagai mayoritas manusia ini, adalah orang-orang yang paling tanggap menerima seruan dan ajakan dakwah.[5] Hal demikian, kiranya dapat ditinjau dari dua perspektif, historis dan psikologis.
Dari tinjauan historis, mayoritas manusia yang merupakan kaum lemah secara faktual adalah mereka yang paling simpatik dan cepat menerima seruan dakwah para Rasul. Penjelasan yang terkait dengan ini, baik dari teks al-Qur’an maupun sirah Nabi, terbilang sangat banyak. Adapun dari sudut psikologis, mayoritas manusia yang terdiri kaum fakir miskin, dan orang-orang lemah adalah mereka yang selalu berjuang melawan penindasan dan kesewenang-wenangan penguasa dan kaum elite. Dalam kondisi demikian, secara kejiwaan, mereka senantiasa mendambakan tampilnya sosok  berwibawa yang memiliki ketulusan untuk bersama-sama memperjuangkan nasib  mereka.

c.                   Al-Munafiqun
Dalam pengertian terminologinya, al-nifaq berarti  menampakkan sesuatu  yang berbeda secara esensial dengan hakikat sebenarnya. Bagi al-Ashfahany, kemunafikan adalah suatu sikap keagamaan yang timpang alias tidak utuh, yaitu menerima agama dari satu sisi, tetapi menolaknya dari sisi yang lain (al-dukhul fi syar’i min babin wa al-khuruj anhu min babin).[6]
Dalam al-Qur’an terdapat satu surat yang bicara secara spesifik tentang orang-orang munafik, yaitu surah al-Munafiqun, yang menurut konsensus pakar tafsir diturunkan pada periode Madinah. Dalam surat tersebut, al-Qur’an  mendeskripsikan munafiqun sebagai kelompok orang yang secara eksplisit mengakui kerasullan Nabi Muhammad, namun pengakuan tersebut dilakukan secara terpaksa, yakni sebagai tameng demi menjaga harta dan nya mereka dari ketentuan kaum muslimin. Orang-orang munafik dilukiskan sebagai golongan yang telah menyimpang dari sikap beragama yang sejati (fasiq), da karenanya, mereka menjadi apriori terhadap seruan dakwah (lam tajid al-mawa’iz wa nasa’ih).[7] Terakhir surat tersebut menyebutkan bahwa orang-orang munafik itu amat lihai dalam melakukan provokasi publik dan membuat tekanan psikologis terhadap orang-orang beriman.
Dari tinjauan historis, munafik dan kemunafikan memang baru terlihat jelas gejalanya pada fase perkembangan dakwah Madinah. Hal demikian dapat dipahami, mengingat watak kemunafikan itu sendiri yang cenderung oportunis dan mencari posisi aman, lahir bersamaan dengan penegasan identitas kaum beriman yang ditandai dengan kebangkitan kekuatan politik. Jika kita memaklumi bahwa kemunafikan itu muncul dari tekanan sosial (sosial pressure), yang diakibatkan oleh desakan untuk memperoleh pengakuan komunitas atau kemudahan bisnis, maka sebetulnya keislaman golongan munafik dapat dibilang sebagai keislaman yang formalitas. Maksudnya, keislaman yang hanya simbol tanpa memahami makna dan pesan-pesan agama secara hakiki.
Keberagaman yang bercampur dengan kekufuran, kemunafikan akan selalu muncul disetiap tempat dan waktu. Adalah tugas para dai untuk dapat mengidentifikasi setiap gejala kemunafikan seperti hadis karakter orang munafik yang amat terkenal itu, yang tertinggal dalam bentuk praktik-praktik keberagaman umat dan kemudian memperbaikinya.

d.                  Kelompok pelaku maksiat (al-Usat)
Kata al-usat merupakan bentuk jamak(plural) dari kata ‘asin, berarti pendurhaka, adalah orang yang suka melakukan dosa dan maksiat. Golongan mad’u yang satu ini, menurut Abdul Karim Zaidan, adalah mereka yang secara batin masih memiliki pijakan yang kuat dari agama, namun secara behavioral menunjukan indikasi yang sebaliknya. Maksusnya, mereka adalah orang-orang yang diakui memiliki komitmen terhadap keyakinan fundamental islam, namun keyakinan ini tidak mammpu diimplimentasikan dalam realitas kehidupan. Lebih dari itu, bahkan mereka kerap kali menunjuka perilaku yang berlawanan dengan apa yang diyakininya itu.[8]
Dengan mengutip al-Qur’an surat an-Nisa/4:17, Zaidan menjelaskan bahwa akar penyebab kemaksiatan kelompok mad’u ini, adalah karena ketidak tahuan pelaku (jahl al-‘asiy), baik terhadap kekuasaan Alloh, implikasi dari kemaksiatannya bagi dirinya dan sosial., maupun keharusan bersyukur kepada sang pemberi nikmat.[9] Dalam kondisi demikian, menurut Zaidan kemaksiatan yang lahir dari kebodohan ini dapat dimaklumi. Kewajiban da’i adalah menunjukan sikap bersahabat (al-Isyfaq) dan membimbingnya dengan sabar serta welas asih (rahmat).

2.                   Pengelompokan Mad’u Berdasarkan Antusias Kepada Dakwah

Al-Qur’an menyebutkan tiga kelompok mad’u, yaitu kelompok yang bersegera dalam menerima kebenaran (al-sabiquna bi al-khirat), kelompok pertengahan (muqthasid), dan kelompok yang menzalimi diri sendiri (zalim linafsih). Kelompok mad’u pertama menurut pakar tafsir kenamaan Wahbah al-Zuhayli yaitu golongan mad’u yang cenderung antusias pada kebaikan dan tanggap terhadap seruan-seruan dakwah baik yang sunnah apa lagi yang wajib. Sebaliknya, mereka amat takut mengerjakan hal-hal yang diharamkan agama, disamping berusaha sebisa mungkin menghindari yang dimakhruhkan atau malah hal-hal yang masih dibolehkan (mubah).[10] Kelompok mad’u yang kedua, lanjut Zuhayli, adalah golongan pertengahan. Mereka merupakan orang-orang yang mengerjakan kewajiban-kewajiban agama dan meninggalkan yang diharamkan,namun pada waktu yang bersamaan, mereka kerap kali melakukan hal-hal yang dimakhruhkan dan kurang tanggap kepada kebaikan yang dianjurkan (sunnah). Adapun kelompok yang terakhir, adalah kelompok yang senang melampaui batasan-batasan agama dan kerap melakukan larangan-larangan agama. Menurut al-Biqa’i, kelompok inilah yang justru paling banyak ditemukan dalam masyarakat.[11]

3.                   Pengelompokan Mad’u Berdasarkan Kemampuannya Menangkap Pesan Dakwah

Ibn Rusyd mengategorikan manusia dalam tiga kelompok, yaitu :
1.                   Ahl al-Burhan
adalah representasi dari pemuka agama yang umum dikenal dengan sebutan ulama atau kaum burhani, yaitu mereka yang dalam menangkap pesann-pesan dakwah didekati dengan mengajukan bukti-bukti demonstratif yang tak terbantahkan.[12]

2.                   Ahl al-Jidal
adalah kelompok mad’u menengah terkait tingkat pemahaman agamanya. Dalam menerima pesan dakwah mereka belum mampu menyingkap hakikat-hakikat terdalam agama, dan baru cukup didekati dengan dialog (jadal) melalui adu argumentasi.

3.                   Ahl al-Khitab
adalah kelompok terbanyak dalam masyarakat. Karena tingkat pemahaman agamanya yang rendah, kelompok mad’u ini tidak tertarik pada pendekatan-pendekatan dialektis dan belum mampu memahami hakikat terdalam agama. Untuk itu,  cara retorik (khitaby) melalui tutur kata dan nasihat yang baik dalam menyampaikan pesan dakwah dipandang sebagai jalan yang paling bijak. [13]

4.                   kategori Mad’u Menurut Keyakinannya
Ada dua kategori mad’u menurut keyakinannya, yaitu kelompok mad’u yang beragama islam dan kelompok mad;u yang tidak beragama islam. Tiga kelompok mad’u seperti ahl al-burhan, ahl al-jidal, dan ahl al-kitab adalah untuk memilah tipe mad’u yang masuk dalam kelompok mad’u muslim. Adapula kelompok mad’u yang nonmuslim ada tiga golongan, yaitu ahl al-kitab yang sebelumnya dijelaskan, musyrikun dan kafirun. Menurut Abdul Moqsith Gazali dalam kajiannya tentang al-Qur’an, kelompok musyrikun disebut untuk mewakili kaum pagan Quraish yang tidak mengimani Muhammad sebagai Rasul dan tidak memiliki pegangan kitab sucipun. [14] Adapun kelompok kafirun, disebut untuk menunjuk kepada mereka yang gemar menutup-nutupi kebenaran dan memutar balikan fakta, baik dari golongan musyrikun maupun ahl al-kitab. [15]
Terkait dengan dakwah, pemaparan mengenai ahl al-kitab yang kiranya sebagai representatif dari kelompok mad’u nonmuslim, diharapkan mampu memberikan pandangan bijak dalam menyampaikan pesan dakwah. Sebagai objek dakwah, disatu sisi kelompok mad’u ini boleh dibilang secara intrinsik telah memiliki sikap “Islam” (berketuhanan yang Maha Esa) seperti tersurat dalam ajaran kitab suci mereka, disisi lain mereka seperti pemaparan al-Qur’an tidak lepas dari penyimpangan-penyimpangan pandangan hidup yang benar.


IV.              Mad’u dan Pilihan Metode

Metode dakwah bersifat dinamis dan kontekstual, sesuai dengan karakter objek yang sedang dihadapi. Kitab suci al-Qur’an telah menggariskan nilai-nilai universal terkait dengan metode atau langkah dakwah. Nilai-nilai universal ini, secara empiris dan historis, dapat dilihat dalam praktik dakwah Rosululloh SAW, sebagai teladan para da’i, kemudian dalam praktik dakwah para sahabat, dan para da’i islam setelah mereka. prinsip-prinsip metodologis itu ada empat, yaitu arif bijaksana (bi al-hikmah), nasihat yang baik (al-mau ’izhatil al-hasanah), dialog dengan cara terbaik (al-jadal al-husna), dan pembalasan berimbang (iqabah bi al-mitsl). Seperti firman Allah :


“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi, jika kamu bersabar,sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang bersabar.” (QS. An-Nahl’16: 125-126)

1.      Metode Hikmah
Dari segi pemaknaan leksial (etimologi), hikmah digunakan untuk menunjuk kepada arti-arti seperti keadilan, ilmu, kearifan, kenabian dan juga al-Qur’an. Dari kata hikmah juga didapat derivasinya “hakim”, yang berarti seorang yang berfrofesi memutuskan perkara-perkara hukum (al-mutqin li umur al-hukm).[16] Singkatnya dari tinjauan terminologi hikmah merujuk kepada pengertian ketepatan berkata dan bertindak dan memperlakukan sesuatu secara bijaksana (al-ishabat fi al-aqwal wa al-fa’al-wa wadla’a kulla syay’ fi maudli’ihi).
Menurut al-Qathany, hikamh dalam konteks metode dakwah tidak dibatasi hanya dalam bentuk dakwah dengan ucapan yang lembut, targhib (nasihat motivasi), kelembutan dn amnesti, seperti selama ini dipahami orang. Lebih dari itu hikmah sebagai metode dakwah juga meliputi seluruh pendekatan dawah dengan kedalaman rasio, pendidikan (ta’lim wa tarbiyyah), nasihat yang baik (mau’izat al-hasanah), dialog yang baik pada tempatnya, juga dialog dengan para penentang yang zalim pada tempatnya, hingga meliputi kecaman, ancaman dan kekuatan senjata pada tempatnya [17]
Hikamah sebagai induk dari seluruh pendekatan dakwah, mencakup juga pendekatan dengan perkataan yang bijak (hikmat al-qaul). Terkait dengan ini, al-Qahtany membagi kaum muslim dalam dua kelompok.
Pertama, mereka yang bersikap cepat-tanggap menerima kebenaran dakwah atau mereka yang pernah disebut oleh Wahbah Zuhayli dengan istilah al-Sabiquna fi al khairat. Pendekatan dakwah yang tepat untuk kelompok ini menurut al-Qahtany adalah melalui perkataan bijak dalam bentuk penerangan-penerangan tentang hakikat kebenaran secara ilmiah, scientifik (‘ilman), praktis (“amalan), dan keimanan (i’tiqadan).[18]
Kedua, yaitu kelompok mad’u yang pengertiannya dicakup melalui terminologi al’usat-dalam pengkategorian Abdul Karim Zaidan. Menurut al-Qahtany, pendekatan dakwah yang tepat untuk kelompok ini adalah salah satu dari tiga bentuk perkataan bijak berikut ini. pertama, al-mau’izhah al-hasanah, kedua, al-targhib wal al-tarhib, ketiga, perumpamaan-perumpaan (hikmat al-qaul al-tashwiriyyah).[19]

2.      Mau ‘izhah Hasanah
Pendekatan dakwah ini secara praktikal terdiri dari dua bentuk, pengajaran (ta’lim) dan pembinaan (ta’dib). Dakwah mau’izhah hasanah dalam bentuk ta’lim dilakukan dengan menjelaskan keyakinan tauhid disertai pengalaman implikasinya dari hukum, syariat yang lima, wajib, haram, sunah, makruh dan mubah dengan penekanan tertentu sesuai dengan kondisi mad’u dan memperingatkan mad’u dari bersikap gemampang (al-tahawun) terhadap salah satunya.[20]
Adapulla pendekatan melalui pembinaan yaitu dilakukan dengan penanaman moral dan etika (budi pekert mulia) sepert kesabaran, keberanian, menepati janji, welas kasih, hingga kehormatan diri, serta menjelaskan efek dan manfaatnya dalam kehidupan seperti emosional, khianaat, pengecut, cengeng dan bakhil.[21]

3.      Debat yang Terpuji (al-Jadal al-Husna)
Pendekatan dakwah ini dilakukan dengan dialog yang berbasis budi pekerti luhur, tutur kalam yang lembut, serta mengalah kepada kebenaran dengan disertai argumentasi demostrstif rasional dan tekstual sekaligus, dengan maksud menolak argumen batil yang dipakai lawan dialog. Debat yang terpuji dalam dakwah tidak memiliki tujuan pada dirinya sendiri, ia lebih ditujukan sebagai wahana (wasilah) untuk mencapai kebenaran dan petunjuk Alooh SWT.[22]
Jika dalam proses pencarian kesepakatan itu mereka membuka hati dan menerima hidayah Islam itu sangat baik, tetapi jika mereka sebatas sepakat saja tanpa beriman, mereka tidak boleh dipaksa dengan alasan apapun, karena Alloh Maha Mengetahui siapa yang menyimpang dari jalan-Nya dan siapa orang yang mendapat petunjuk.[23]

4.      Tindakan Balasan Setimpal (Iqabah bi al-Mitsl)
Pendekatan dakwah semacam ini dinamai al-iqab bi al-mitsl yang terjemahannya “dakwah dengan balasan setimpal”. Dalam pemetaan metode dakwah, pendekatan balasan setimpal berada masih dalam lingkup dakwah bi al hikmah yang diistilahkan dengan hikmat al-quwwah atau jihad qitaly (jihad perang).[24] Pendekatan dakwah dengan cara kekerasan atau ketegasan ini dibatasi dengan banyaknya persyaratan yang ketat, bahkan menurut ketentuan al-Qur’an mesti dijadikan alternatif terakhir dan bila perlu, memberi amnesti itu lebih baik dari pada pembalasan. Demikian itu karena islam dalam watak dasarnya adalah agama yang menghendaki kedamaian dan senantiasa mengajak kepada kedamaian.
Hikmat al-quwwah sebagai pendekatan dakwah menurut al-Qahtany juga berlaku terhadap kaum muslim dalam wujud hadd dan ta’zir.[25] Penggunaan dakwah ini dimaksudkan untuk memperoleh stabilitas sosial dengan bertindak tegas terhadap setiap pelanggar hukum yang telah ditetapkan bersama. Prinsip hukuman dalam berdakwah memang sesekali perlu digunakan demi menciptakan masyarakat beradab yang sadar hukum, sebab bagaimanapun juga dakwah dihadirkan untuk memberikan kebahagiaan hidup bermasyarakat yang hanya mungkin diwujudkan melalui keamanan dan ketertiban sosial berdasarkan hukum yang disepakati.


[1] HR. Muslim. Lihat muslim Ibn Hujaj al-Qusyayri, Sahih Muslim, (Mauqi’ al-Islam), jus 1, h. 21 dari ‘Abd. Allah Ibn Mas’ud
[2] Abdul Karim Zaidan, Op. Cit., h. 374.
[3] Ibid., h. 375. Lihay juga Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuny, Op. Cit., h. 170.
[4] Lihat QS. Al-A’raf/7:59-60
[5] Abdul Karim Zaidan, Op. Cit., h. 319.
[6] Al-Ashfahany, Op. Cit., juz 2, h. 488
[7] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Kairo;Maktabah Mustafa al-Habibi, 1946), cet. Pertama, h. 112.
[8] Abdul Karim Zaidan, Op. Cit., h. 406
[9] Ibid., h. 406.
[10] Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syariah wa al Manhaj, (Damaskus: Dar al-fikr al-Mu’ashir, 1997). Juz 22, h. 266
[11] Ibrahim Ibn ‘Umar Abu Bakr al-Biqa’iy, Nazm al-Durar li Tanasub al-Ayat wa al-suar, (Mauqi’ al-Tafsir), Juz 7, h. 23
[12] Abu al Walid  Ibn Muhammad Ibn Rusyd al Qurtuby, Fasl al-Maqal Fi Ma Bain al-Hikmah wa al-Syariah min al-ittisal, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), cet. Ketiga, h. 31.
[13] Ibid.
[14] Baca Abdul Moqsith Gazali, Argumen Pluralisme  Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, (Jakarta: Kata Kita, 2009), h. 318.
[15] Ibid., h.302.
[16] Said ‘Ali Wahf al-Qahthany, al-Hikmah fi al-Dakwah ila Allah, (Saudi Arabia: Muassasat al-Juraysi, 1992),h. 23.
[17] Sa’id ‘Ali wahf al-Qahtani, OP. Cit., h. 35.
[18] Ibid., h. 481.
[19] Ibid., h. 482.
[20] Sa’id ‘Ali Wahf al-Qahtany., Op. Cit., h. 482
[21] Ibid., h. 484.
[22]  Sayyid Raziq Tawwil, al-Da’wah fi al-Islam ‘Aqidah wa manhaj, (Mekkah: Maktabah Rabitat al-‘Alam al-Islamy, tt), h. 99.
[23] QS. Ali Imran’3:64.
[24] Sa’id ‘Ali Wahf al-Qahtany., Op.cit., h. 519.
[25]  Ibid., h. 559.

1 komentar: