Sholat Berjamaah 
Sebagian ummat Islam masih membiasakan diri mengerjakan sholat lima 
waktu di rumah atau di kantor tempat ia bekerja. Sangat sedikit yang 
membiasakan sholat lima waktunya berjamaah di masjid atau musholla di 
mana azan dikumandangkan.
Bahkan ada sebagian 
saudara muslim yang membiasakan dirinya sholat seorang diri alias tidak 
berjama’ah. Padahal terdapat sekian banyak pesan dari Nabi Muhammad 
shollallahu ’alaih wa sallam yang menganjurkan ummat Islam –terutama 
kaum pria- sholat berjama’ah di masjid tempat di mana azan 
dikumandangkan. Berikut ada beberapa pelajaran penting mengenai sholat 
berjamaah:
Pertama,
 seseorang yang disiplin mengerjakan sholat saat azan berkumandang akan 
menyebabkan dirinya diakui sebagai seorang muslim saat bertemu Allah 
subhaanahu wa ta’aala kelak di hari berbangkit. Sungguh suatu kenikmatan
 yang luar biasa…! Pada hari yang sangat menggoncangkan bagi semua 
manusia justru diri kita dinilai Allah subhaanahu wa ta’aala sebagai 
seorang hamba-Nya yang menyerahkan diri kepada-Nya. Kita tidak 
dimasukkan ke dalam golongan orang kafir, musyrik atau munafiq.
”Barangsiapa ingin 
bertemu Allah esok hari sebagai seorang muslim, maka ia harus menjaga 
benar-benar sholat pada waktunya ketika terdengar suara adzan.”
Kedua,
 menjaga sholat termasuk kategori aktifitas SUNANUL-HUDA (perilaku atau 
kebiasaan berdasarkan pertunjuk Ilahi). Barangsiapa memelihara 
pelaksanaan kewajiban sholat lima waktu setiap harinya berarti ia 
menjalani hidupnya berdasarkan petunjuk dan bimbingan Allah subhaanahu 
wa ta’aala. Berati ia tidak membiarkan dirinya hidup tersesat sekedar 
mengikuti hawa nafsu yang dikuasai musuh Allah subhaanahu wa ta’aala, 
yakni syaitan.
”Maka sesungguhnya 
Allah subhaanahu wa ta’aala telah mensyari’atkan (mengajarkan) kepada 
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam beberapa SUNANUL-HUDA (perilaku 
berdasarkan hidayah/petunjuk) dan menjaga sholat itu termasuk dari 
SUNANUL-HUDA.”
Ketiga,
 sholat di rumah identik dengan meninggalkan sunnah Nabi Muhammad 
shollallahu ’alaih wa sallam. Padahal tindakan meninggalkan sunnah Nabi 
Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan gambaran raibnya cinta 
seseorang kepada Nabinya Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. 
Sebaliknya, bukti cinta seseorang akan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih 
wa sallam adalah kesungguhannya untuk melaksanakan berbagai sunnah 
beliau, Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam.
”Andaikan kamu sholat 
di rumah sebagaimana kebiasaan orang yang tidak suka berjama’ah berarti 
kamu meninggalkan sunnah Nabimu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam.”
Keempat,
 meninggalkan sunnah Nabi akan menyebabkan seseorang menjadi TERSESAT. 
Berarti tidak lagi hidup di bawah naungan bimbingan dan petunjuk Allah. 
Sungguh mengerikan, bilamana seorang muslim merasa menjalankan kewajiban
 sholat, namun karena ia kerjakannya tidak di masjid, maka hal itu 
menyebabkan dirinya menjadi tersesat dari jalan yang lurus…! 
Na’udzubillaahi min dzaalika.
”Dan bila kamu meninggalkan sunnah Nabimu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam pasti kamu tersesat.”
Kelima,
 barangsiapa menyempurnakan wudhu lalu berjalan ke masjid, maka hal itu 
akan mendatangkan kenaikan derajat dan penghapusan kesalahan.
”Maka tidak ada 
seseorang yang bersuci dan dia sempurnakan wudhunya kemudian ia berjalan
 ke masjid di antara masjid-masjid ini kecuali Allah subhaanahu wa 
ta’aala mencatat bagi setiap langkah yang diangkatnya menjadi kebaikan 
yang mengangkat derajatnya dan bagi setiap langkah yang diturunkannya 
menjadi penghapus kesalahannya.”
Keenam,
 Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu menggambarkan bahwa pada zaman Nabi 
Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam masih hidup di tengah para sahabat
 radhiyallahu ’anhum jika ada yang tertinggal dari sholat berjamaah maka
 ia dipandang identik dengan orang munafiq sejati
”Dan sungguh dahulu 
pada masa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam tiada seorang 
tertinggal dari sholat berjama’ah kecuali orang-orang munafiq yang 
terang kemunafiqannya.”
Ketujuh,
 di zaman Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sedemikian 
bersemangatnya orang menghadiri sholat berjamaah di masjid sampai-sampai
 ada yang dipapah dua orang di kiri-kanannya agar ia bisa sholat 
berjamaah di masjid
”Sungguh adakalanya seseorang itu dihantar ke masjid didukung oleh dua orang kanan kirinya untuk ditegakkan di barisan saf.”
Hukum Shalat Berjamaah 
Di kalangan ulama memang berkembang banyak pendapat tentang hukum 
shalat berjamaah. Ada yang mengatakan fardhu `ain, sehingga orang yang 
tidak ikut shalat berjamaah berdosa. Ada yang mengatakan fardhu kifayah 
sehingga bila sudah ada shalat jamaah, gugurlah kewajiban orang lain 
untuk harus shalat berjamaah. Ada yang mengatakan bahwa shalat jamaah 
hukumnya fardhu kifayah. Dan ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah 
muakkadah.
Tentu masing-masing pendapat itu ada benarnya, sebab mereka telah berijtihad dengan memenuhi kaidah 
istimbath
 hukum yang benar. Kalau pun hasilnya berbeda-beda, tentu karena hal ini
 adalah ijtihad. Sebab tidak ada lafadz yang secara eksplisit di dalam 
Al Quran atau hadits yang menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu 
hukumnya begini dan begini.
    
Yang ada hanya sekian banyak dalil yang masih mungkin menerima ragam 
kesimpulan yang berbeda. Dan sebenarnya hal seperti ini sangat lumrah di
 dunia fiqih, kita pun tidak perlu terlalu risau bila ada pendapat dari 
ulama yang ternyata tidak sejalan dengan apa yang kita pahami selama 
ini. Atau berbeda dengan apa yang diajarkan oleh guru kita selama ini.
Dan berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta 
dalil masing-masing, semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita dalam 
ilmu syariah.
1. Pendapat Kedua: Fardhu Kifayah 
Yang mengatakan hal ini adalah Al Imam Asy Syafi`i dan Abu Hanifah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab 
Al Ifshah
 jilid 1 halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik
 yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). 
Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al 
Hanafiyah dan Al Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang
 menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. 
Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka
 berdosalah semua orang yang ada di situ. Hal itu karena shalat jamaah 
itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
Di dalam kitab 
Raudhatuth Thalibin karya Imam An Nawawi disebutkan bahwa:
Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat Jumat. 
Sedangkan untuk shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang 
paling shahih hukumnya adalah fardhu kifayah, tapi juga ada yang 
mengatakan hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu
 `ain.
Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas adalah:
Dari Abi Darda` Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu 
kampung atau pelosok tapi tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan 
telah menguasai mereka. Hendaklah kalian berjamaah, sebab srigala itu 
memakan domba yang lepas dari kawanannya.” (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan)
Dari Malik bin Al Huwairits bahwa Rasulullah SAW, “Kembalilah 
kalian kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah 
mereka shalat dan perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat 
tiba, maka hendaklah salah seorang kalian melantunkan azan dan yang 
paling tua menjadi imam.” (HR.Muslim 292 – 674).
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Shalat berjamaah itu lebih utama dari 
shalat sendirian dengan 27 derajat.” (HR Muslim 650,249)
Al Khatthabi dalam kitab 
Ma`alimus Sunan jilid 1 halaman 160 
berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi`i mengatakan bahwa shalat 
berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain dengan 
berdasarkan hadits ini.
2. Pendapat Pertama: Fardhu `Ain 
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah, Al Auza`i, Abu 
Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al Hanafiyah dan 
mazhab Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan
 tidak halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar azan, haruslah
 dia mendatanginya untuk shalat. (lihat 
Mukhtashar Al Fatawa Al Mashriyah halaman 50).
Dalilnya adalah hadits berikut:
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Siapa yang mendengar 
adzan tapi tidak menjawabnya (dengan shalat), maka dia tidak 
menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak menginginkannya.” (Al-Muqni` 1/193)
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap syah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh aku punya keinginan untuk 
memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang 
untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa 
seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat
 dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR Bukhari 644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
3. Pendapat Ketiga: Sunnah Muakkadah 
Pendapat ini didukung oleh mazhab Al Hanafiyah dan Al Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh Imam Asy Syaukani dalam kitabnya 
Nailul Authar
 jilid 3 halaman 146. Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah 
dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan 
pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu `ain, fardhu kifayah atau
 syarat syahnya shalat, tentu tidak bisa diterima.
Al-Karkhi dari ulama Al Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu 
hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya 
kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al 
Hanafiyah tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. 
Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib. (silahkan periksan 
kitab 
Bada`ius-Shanai` karya Al Kisani jilid 1 halaman 76).
Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al Malikiyah dalam kitabnya 
Al Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat hukumnya sunnah muakkadah. Lihat 
Jawahirul Iklil jilid 1 halama 76.
Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan secara berjamaah itu hukumnya fardhu sunnah muakkadah. (lihat 
Qawanin Al Ahkam As-Syar`iyah halaman 83). Ad-Dardir dalam kitab 
Asy Syarhu Ash Shaghir jilid 1 halaman 244 berkata bahwa shalat fardhu dengan berjamaah dengan imam dan selain Jumat, hukumnya sunnah muakkadah.
Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil-dalil berikut ini:
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Shalat berjamaah itu lebih utama dari 
shalat sendirian dengan 27 derajat.” (HR. Muslim 650,249)
Ash Shan`ani dalam kitabnya 
Subulus Salam jilid 2 halaman 40 
menyebutkan setelah menyebutkan hadits di atas bahwa hadits ini adalah 
dalil bahwa shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.
Selain itu mereka juga menggunakan hadits berikut ini:
Dari Abi Musa Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah 
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang 
mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh 
berjalannya. Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar 
pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur.” (lihat 
Fathul Bari jilid 2 halaman 278)
4. Pendapat Keempat: Syarat Sahnya Shalat 
Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat 
fardhu berjamaah adalah syarat syahnya shalat. Sehingga bagi mereka, 
shalat fardhu itu tidak syah kalau tidak dikerjakan dengan berjamaah.
Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taimiyah dalam salah satu pendapatnya (lihat 
Majmu` Fatawa jilid 23 halaman 333). Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhab 
Zhahiriyah (lihat 
Al Muhalla
 jilid 4 halaman 265). Termasuk di antaranya adalah para ahli hadits, 
Abul Hasan At Tamimi, Abu Al Barakat dari kalangan Al Hanabilah serta 
Ibnu Khuzaimah.
Dalil yang mereka gunakan adalah:
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam bersaba, “Siapa yang mendengar azan tapi tidak 
mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada 
uzur.” (HR Ibnu Majah793, Ad-Daruquthuny 1/420, Ibnu Hibban 2064 dan Al Hakim 1/245)
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya shalat yang paling berat buat 
orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa 
yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan 
mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk 
memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang 
untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa 
seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat
 dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR Bukhari 644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya).
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah 
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam didatangi oleh seorang laki-laki yang buta
 dan berkata, “Ya Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku ke masjid.
 Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata untuk memberikan 
keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu, Rasulullah Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam memanggilnya dan bertanya, “Apakah kamu dengar azan 
shalat?” “Ya,” jawabnya. “Datangilah,” kata Rasulullah Shallallahu 
‘Alaihi wa Sallam . (HR Muslim 1/452).
Manfaat dan Hikmah Sholat Berjamaah
Manfaat dan Hikmah  shalat berjamaah
Banyak umat Islam yang menganggap remeh urusan shalat berjamaah. 
Kenyataan ini dapat kita lihat di sekitar kita. Masih bagus mau shalat, 
pikir kebanyakan orang, sehingga tidak berjamaah pun dianggap sudah 
menjadi muslim yang baik, layak mendapat surga dan ridha Allah. Padahal,
 Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dalam shahihain, sampai pernah 
hendak membakar rumah para sahabat yang enggan berjamaah. Kisah ini 
seharusnya dapat membuka mata kita betapa pentingnya berjamaah dalam 
melaksanakan rukun Islam kedua ini.
Jika mengamati hadits-hadits yang berkaitan dengan shalat berjamaah, 
barangkali kita dapat menyimpulkan sendiri bahwa hukum shalat berjamaah 
“nyaris” wajib. Bagaimana tidak, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
 menerangkan bahwa hanya ada tiga hal yang dapat menjadi alasan bagi 
kita untuk meninggalkan shalat berjamaah; hujan deras, sakit, dan 
ketiduran. Di luar itu, beliau akan sangat murka melihat umat Islam 
menyepelekan shalat berjamaah.
Perhatian besar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ini cukup 
beralasan. Karena di dalam shalat berjamaah terdapat banyak hikmah dan 
manfaat bagi umat Islam, baik untuk maslahat dien, dunia, dan akhirat 
mereka. Berikut ini beberapa hikmah dan manfaat yang bisa diunduh umat 
Islam dari shalat berjamaah
1.  Allah telah mensyariatkan pertemuan bagi umat ini pada waktu-waktu tertentu. 
Ada yang dilaksanakan secara berulang kali dalam sehari semalam, yaitu 
shalat lima waktu dengan berjamaah di masjid. Ada juga pertemuan yang 
dilaksanakan sekali dalam sepekan, yaitu shalat Jum'at. Ada juga yang 
dilangsungkan setelah pelaksanaan ibadah yang agung, dan terulang dua 
kali setiap tahunnya. Yaitu Iedul Fitri sesudah pelaksanaan ibadah puasa
 Ramadlan dan Iedul Adha sesudah pelaksanaan ibadah Haji. Dan ada juga 
yang dilaksakan setahun sekali yang dihadiri umat Islam dari seluruh 
penjuru negeri, yaitu wukuf  di Arafah. Semua ini untuk menjalin 
hubungan persaudaraan dan kasih sayang sesama umat Islam, juga dalam 
rangka membersihkan hati sekaligus dakwah ke jalan Allah, baik dalam 
bentuk ucapan maupun perbuatan.
2.  Sebagai bentuk ibadah kepada Allah melalui pertemuan ini dalam rangka memperoleh pahala dari-Nya dan takut akan adzab-Nya.
3.  Menanamkan rasa saling mencintai.
Melalui pelaksanaan shalat berjamaah, akan saling mengetahui keadaan 
sesamanya. Jika ada yang sakit dijenguk, ada yang meninggal di antarkan 
jenazahnya, dan jika ada yang kesusahan cepat dibantu. Karena seringnya 
bertemu, maka akan tumbuh dalam diri umat Islam rasa cinta dan kasih 
sayang.
4.  Ta'aruf (saling mengenal). 
Jika orang-orang mengerjakan shalat secara berjamaah akan terwujud 
ta'aruf. Darinya akan diketahui beberapa kerabat sehingga akan 
tersambung kembali tali silaturahim yang hampr putus dan terkuatkan 
kembali yang sebelumnya telah renggang. Dari situ juga akan diketahui 
orang musafir dan ibnu sabil sehingga orang lain akan bisa memberikan 
haknya.
5.  Memperlihatkan salah satu syi'ar Islam terbesar. 
Jika seluruh umat Islam shalat di rumah mereka masing-masing, maka tidak mungkin diketahui adanya ibadah shalat di sana. 
 
6.  Memperlihatkan kemuliaan kaum muslimin. 
Yaitu jika mereka masuk ke masjid-masjid dan keluar secara bersamaan, maka orang kafir dan munafik akan menjadi ciut nyalinya.
7.  Memberi tahu orang yang bodoh terhadap syariat agamanya. 
Melalui shalat berjamaah, seorang muslim akan mengetahui beberapa 
persoalan dan hukum shalat yang sebelumnya tidak diketahuinya. Dia bisa 
mendengarkan bacaan yang bisa dia petik manfaat sekaligus dijadikan 
pelajaran. Dia juga bisa mendengarkan beberapa bacaan dzikir shalat 
sehinga lebih mudah menghafalnya. Dari sini, orang yang belum mengetahui
 tentang syariat shalat, khususnya, bisa mengetahuinya.
8.  Memberikan motifasi bagi orang yang belum bisa rutin menjalankan 
shalat berjamaah, sekaligus mengarahkan dan membimbingnya seraya saling 
mengingatkan untuk membela kebenaran dan senantiasa bersabar dalam 
menjalankannya.
9.  Membiasakan umat Islam untuk senantiasa bersatu dan tidak berpecah 
belah. Dalam berjamaah terdapat kekuasaan kecil, karena terdapat imam 
yang diikuti dan ditaati secara tepat. Hal ini akan membentuk pandangan 
berIslam secara benar dan tepat tentang pentingnya kepemimpinan (imamah 
atau khilafah) dalam Islam.
10.  Membiasakan seseorang untuk bisa menahan diri dari menuruti kemauan
 egonya. Ketika dia mengikuti imam secara tepat, tidak bertakbir sebelum
 imam bertakbir, tidak mendahului gerakan imam dan tidak pula terlambat 
jauh darinya serta tidak melakukan gerakan bebarengan dengannya, maka 
dia akan terbiasa mengendalikan dirinya.
11.  Membangkitkan perasaan orang muslim dalam barisan jihad, sebagaimana yang Allah firmankan,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya 
dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan 
yang tersusun kokoh." (QS. Ash Shaff: 4)
Orang yang mengerjakan shalat lima waktu dengan berjamaah dan 
membiasakan untuk berbaris rapi, lurus dan rapat, akan menumbuhkan dalam
 dirinya kesetiaan terhadap komandan dalam barisan jihad sehingga dia 
tidak mendahului dan tidak menunda perintah-peritnahnya.
12. Menumbuhkan perasaan sama dan sederajat dan menghilang status sosial yang terkadang menjadi sekat pembatas di antara mereka.
Di sana, tidak ada pengistimewaan tempat bagi orang kaya, pemimpin, dan 
penguasa. Orang yang miskin bisa berdampingan dengan yang kaya, rakyat 
jelata bisa berbaur dengan penguasa, dan orang kecil bisa duduk 
berdampingan dengan orang besar. Karena itulah Nabi shallallahu 'alaihi 
wasallam memerintahkan untuk menyamakan shaff (barisan) shalat. Beliau 
bersabda, "janganlah kalian berselisih yang akan menyebabkan 
perselisihan hati-hati kalian." (HR. Muslim)
13. Dapat terlihat orang fakir miskin yang serba kekurangan, orang sakit, dan orang-orang yang suka meremehkan shalat.
Jika terlihat orang memakai pakaian lusuh dan tampak tanda kelaparan dan
 kesusahan, maka jamaah yang lain akan mengasihi dan membantunya. Jika 
ada yang tidak terlihat di masjid, akan segera diketahui keadaannya, 
apakah sakit atau meremehkan kewajiban shalat berjamaah. Orang yang 
sakit akan dijenguk dan diringankan rasa sakit dan kesusahannya, 
sedangkan orang yang meremehkan shalat akan cepat mendapat nasihat 
sehingga akan tercipta suasana saling tolong menolong dalam kebaikan dan
 takwa.
14. Akan menggugah keinginan untuk mengikuti sunnah Rasulullah 
shallallahu 'alaihi wasallam dan para shabatnya. Melalui shalat 
berjamaah, umat Islam bisa membayangkan apa yang pernah dijalani oleh 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersama para shabatnya. Sang 
imam seolah menempati tempat Rasulullah yang para jamaah seolah 
menempati posisi sahabat.
15. Berjamaah menjadi sarana turunnya rahmat dan keberkahan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
16. Akan menumbuhkan semangat dalam diri seseorang untuk meningkatkan 
amal shalihnya dikarenakan ia melihat semangat ibadah dan amal shalih 
saudaranya yang hadir berjamaah bersamanya.
17. Akan mendapatkan pahala dan kebaikan yang berlipat ganda, 
sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "shalat 
berjamaah itu lebih utama 27 derajat daripada shalat sendirian." (HR. 
Muslim)
18. Menjadi sarana untuk berdakwah, baik dengan lisan maupun perbuatan. 
Berkumpulnya kaum muslimin pada waktu-waktu tertentu akan mendidik 
mereka untuk senantiasa mengatur dan menjaga waktu. 
 
 Udzur (Halangan) Shalat Berjama’ah
Shalat jama’ah harus dilakukan dalam keadaan apapun kecuali jika terdapat beberpa udzur, diantaranya:
- Dalam keadaan hujan, becek dan angin kencang di malam gelap
عَنِ ابْنَ عُمَر رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قال إِنَّ 
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ 
الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ 
أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ (رواه الشيخان)
Sesuai dengan Hadist Rasulallah saw dari Ibnu Umar ra, ia berkata: 
Rasulullah saw. pernah memerintahkan seorang muazin dalam malam yang 
dingin dan hujan agar shalat di rumah. (HR Muttafaun ‘alaih)
- Dalam keadaan sangat lapar dan haus dan dihadapannya hidangan makanan dan minuman
- Menahan buang air besar dan kecil sedang waktu masih panjang untuk shalat.
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قالت : سَمِعْتُ 
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : لَا صَلَاةَ 
بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ (رواه مسلم)
Dari Aisyah ra, ia berkata: aku mendengar Rasulallah saw bersabda 
“tidak dilaksanakan shalat apabila makanan telah dihidangkan dan apabila
 menahan kedua hadats (kecil dan besar)” (HR Muslim)
- Sakit yang membuatnya sulit untuk shalat berjama’ah
Allah berfirman: 
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ – الحجر ﴿٧٨﴾
Artinya: ”dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam  agama suatu kesempitan.” (Qs Al-Hajj ayat: 78)
- Merawat orang sakit, karena melindungi jiwa seorang manusia yang lebih baik daripada menjaga berjama’ah.
- Menjaga orang yang sedang sakarat agar bisa diketahui kematiannya
- Perjalanan ke masjid tidak aman karena takut terancam jiwa dan harta